DI BUMI, GEREJA MEMBUMI

02.22 bs 0 Comments

Kehadiran gereja di Bumi, sudah seharusnya membumi. Ingatlah kidung indah para malaikat, ketika mengumandangkan pujian surga yang bermuara pada makna: damai di Bumi. Alangkah indahnya, jika itu menjadi mandat yang diwujudnyatakan gereja, yang tak sekadar hadir sebagai untaian syair di dalam keindahan nada, di setiap Natal, di setiap penghujung tahun, tetapi, sebuah kehangatan yang nyata, damai yang dirasa nyata, senyata kehadiran manusia di dalam dunia ini. Manusia yang mengaku percaya kepada Yesus Kristus, manusia yang disapa, sebagai “gereja”. Menabur damai, adalah panggilan mulia bagi gereja. Sebuah nyanyian yang harus dikumandangkan dalam denyut kehidupan.

Ketika Yesus datang melawat Bumi, Dia melakukan “turba” (turun ke bawah) yang sejati. Turun dari surga yang mahatinggi, menjejakkan kehadirannya di bumi, menjadi sama dan salah satu dari antara kita gereja-Nya. Istilah “turba” awalnya muncul di era Orde Baru, era di mana pejabat kita sangat ahli dan jeli membuat singkatan, termasuk istilah kerja banyak menteri. Jadi, “turba” adalah tugas ke daerah yang dilakukan menteri. Entah kenapa tugas ke daerah itu disebut “turun ke bawah”, tak jelas. Tapi yang jelas, sudah seharusnya pemimpin ada bersama yang dipimpinnya. Dan turun ke bawah, juga menjadi semacam pengorbanan bagi para petinggi dan penghinaan bagi kita yang dianggap berada di bawah.

Nah, kalau Yesus yang disebut “turba”, itu memang amat sangat tepat. Dia memang tinggi, sementara kita rendah, Dia memang mulia, sementara kita hina. Yesus Kristus, selama di Bumi tak mengambil posisi sebagai petinggi. Dia berbaur dengan keseharian orang kebanyakan. Bahkan, Yesus meletakkan nilai diri-Nya dalam kesamaan dengan mereka yang hina dan tersisih. “Kalian sudah mempedulikan Aku, ketika kalian peduli kepada saudara-Ku yang hina ini” (Mat 25:40).

Kehadiran-Nya yang sangat bersahabat itu, telah mengangkat harkat hidup banyak orang hina (yang dihina lingkungannya). Yesus, telah menciptakan damai, bukan hanya mengumandangkannya. Dia telah membuat damai hati mereka yang tersisih, yang tidak pernah dipedulikan oleh masyarakat sekitarnya, apalagi oleh para petinggi yang sering mangaku turba. Mereka seringkali merasa terlalu tinggi untuk turun ke bawah. Sebuah estetika hidup yang luar biasa telah didemonstrasikan oleh Yesus, sang kepala gereja.

Lalu, bagaimana dengan gereja-Nya? Sebuah pertanyaan yang serius, seserius ketika Yesus berkata, “Enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu orang orang terkutuk, sebab engkau tidak memberi Aku makan ketika lapar, minum ketika haus, pakaian ketika telanjang.” Mereka yang dituduh, mencoba menyela dan bertanya, “Bilamana?” Yesus menjawab, “Ketika engkau tidak peduli pada mereka yang hina itu (Mat 25:41-46).

Akankah, penolakan itu yang akan menjadi kenyataan pahit bagi “gereja”? Entahlah, karena itu tetap sebuah misteri penghakiman. Namun yang pasti, sejauh kemampuan mata menatap, dan dalam keterbatasan menilai, yang tampak adalah, gereja seringkali berteduh di ketinggian menara gading. Tak banyak, dan, tak kompak, gereja yang membumi. Kebanyakan gereja terlalu tinggi untuk digapai, terlalu suci untuk dimengerti. Para petinggi gereja pun, banyak yang merasa karunianya besar, berkatnya luar biasa besar, bahkan nama dan kuasanya pun terlalu besar untuk dibuat menjadi kecil, agar bisa memberi damai, pada yang kecil-kecil.
read more...

Ditulis untuk Tabloid Reformata/www.reformata.com