KEBERANIAN YANG MEMBINGUNGKAN
Seharusnya keberanian tak menimbulkan kebingungan melainkan kekaguman. Memaksa tiap lidah berdecak, dan mengungkap kata, “Wah, luar biasa!” Namun dalam kancah kehidupan di dunia perpolitikan republik tercinta ini memang menjadi perkecualiaan. Semua berlangsung bukan berdasarkan trek yang seharusnya, melainkan situasi dan kondisi yang menuntut. Hal ini menciptakan banyak dagelan yang tak lagi lucu. Lihatlah kasus pengakuan Agus Condro, anggota dewan dari PDI-P, yang mengaku telah menerima uang gratifikasi sebesar Rp 500.000.000,- dalam bentuk travel check.Menurut berita, uang diterima berkaitan dengan fit and proper test deputy senior gubernur BI, Miranda Gultom. Banyak orang menyebut pengakuan ini sebagai sebuah keberanian dan kejujuran yang patut diacungi jempol. Bahkan ikatan Alumni Hukum UI memberinya penghargaan Nurani, keberanian dalam menegakkan kebenaran yang bisa membangun supremasi hukum. Tak jelas ukuran yang dipakai, tapi sangat jelas mereka mengatakan ini tak ada kaitannya dengan politik, sekalipun mereka menyadari sepenuhnya akan ada dampak politisnya.
Nah, sebuah kalimat bersayap, menghargai kebenaran dengan alasan yang tak transparan. Tak lucu kan. Padahal, dalam kasus hukum, kegigihan Suciwati, istri almarhum Munir, dalam menuntut keadilan atas terbunuhnya aktivis Kontras, lebih pas untuk dihargai Ikatan Alumni UI. Suci berjuang melawan kemapanan sistem yang dihadapinya. Nuraninya berteriak menuntut keadilan, dan dia telah berjuang menegakkan kebenaran, berhadapan dengan orang yang sebelumnya tak tersentuh hukum. Apakah tak ada Nurani dari Ikatan Alumni UI untuk menghargai perjuangannya, itu jika memang perjuangan nurani yang menjadi ukurannya. Jika tidak, tentu memang tidak perlu menghargainya.
Di sisi lain, KPK yang getol rekam sana, rekam sini, tangkap sana, tangkap sini, justru terkesan cuek atas laporan Agus Condro. Spionase mereka seakan tak berfungsi. Padahal ini tak perlu skenario penangkapan, penyamaran, dan tentu saja tanpa biaya operasional. Alasan KPK sederhana saja, tak cukup bukti. Padahal Agus Condro dapat dijadikan bukti, dan apabila pengakuannya tidak benar tentu saja itu bisa menjadi fitnah, dan ada hukum yang mengatur tentang hal itu. Dengan begini, orang akan malas bicara, atau malah suka bicara tanpa arah, yang penting asal top, toh tidak ada konsekuensi hukumnya. Nah, lagi-lagi tidak lucu kan. Di sisi lain, BK DPR pun, tak bernafsu mendiskusikan lebih lanjut hal ini, sekalipun untuk yang ini Ketua Dewan cukup getol memintanya.
Kalau di dewan, sudah jelas “aturannya”, siapa dia, dari fraksi mana, maka itu akan menentukan siapa yang minta agar diperiksa, dan siapa yang akan berkata tidak perlu atau tidak cukup data untuk pemeriksaan. Nah, dewan yang sering kali berteriak menyuarakan partainya, bahwa pemberantasan korupsi sebagai tebang pilih, ternyata pilih-pilih juga memeriksa anggotanya. Makin tidak lucu kan? Tinggal kita rakyat yang tidak bisa pilih-pilih, karena memang tidak punya pilihan, kecuali tidak lagi memilih mereka-mereka caleg bercabang lidah, dalam pemilu. Sementara itu DPP PDI-P bersikap tegas dan tuntas, mengentaskan Agus dari ruang kerjanya di DPR lewat mekanisme pergantian antarwaktu. Agus divonis melanggar AD-ART partai. Yang mana, Agus merasa tak jelas, bahkan dia merasa dizalimi dalam usaha kejujurannya yang menurutnya semestinya dihargai. Ya, PDI-P yang berbalutkan slogan demokrasi itu ternyata tak nyata demokrasinya. Paling tidak, tidak senyata pemecatan Agus. Ya, partai tetap saja partai, apa pun namanya maupun platform-nya. Toh semua itu hanya dijadikan slogan kampanye saja. Tidak lucu kan?
Nah, barangkali Anda sudah tertipu berulang kali namun tak pernah menyadari, kali ini Anda yang tidak lucu. Sekarang bagaimana dengan fenomena seorang Agus Condro. Yang ini memang menarik atas pengakuannya. Agus merasa bersalah atas dana gratifikasi yang diterimanya, dan dia ingin jika tak lagi menjadi anggota dewan tak punya beban moral. Yang unik dari kasus ini adalah bahwa, dana gratifikasi sudah diterima bertahun-tahun, bahkan sudah menjadi kendaraan yang setiap hari dipacu Agus dan keluarganya. Ya, seorang anggota dewan dengan Mercy C Class-nya. Entah bagaimana, selama bertahun-tahun menikmati uang gratifikasi, Agus Condro tak pernah gelisah apalagi merasa bersalah. Dia tak pernah menolak, atau berusaha mengembalikan uang itu. Malah dengan sadar memakai dan menikmatinya untuk membeli mobil. Mengapa mendadak setelah sekian lama, Agos Condro gelisah, dan mengaku salah? Mobil dikembalikan padahal sudah tak seharga awal, karena faktor penyusutan. Sehingga ada yang guyon dan berkata, “Apa karena mobil sudah tua, harga menyusut, sehingga pengakuan menjadi pilihan?” Atau, ada pendapat yang lebih sinis lagi, “Jangan-jangan setelah kemarin menerima gratifikasi dan puas menikmati, kini ada yang membayar lebih untuk menghancurkan orang lain”.
Pengakuan yang menyeret orang, bahkan fraksi, hingga partai bisa jadi bernilai sangat tinggi. Pasti orang yang diuntungkan akan berani bayar harga tinggi. Hasilnya sudah pasti, nama harum, dapat award Nurani, dan pembayaran tinggi. Kalaupun masuk penjara pasti akan dapat potongan karena dianggap berjasa membongkar jaringan korupsi kelas tinggi. Sayangnya, semua ini menjadi praduga-praduga yang tak berujung pangkal. Tak jelas siapa yang salah dan siapa yang benar, karena tak ada yang berniat memeriksa. Semua bias dan musnah ditelan waktu. Akhirnya yang tersisa tinggal pernyataan dan bantahan saja, motif tak pernah muncul ke permukaan. Lha, kok tidak lucu begitu. Lha iya, dari tadi kan sudah dibilang memang tidak lucu, bahkan membingungkan, tapi itulah kenyataan yang kita hadapi.
Bahwa generasi berikut akan bingung, tidak perlu Anda pikirkan, karena toh sekarang memang tidak ada yang memikirkannya. Inilah wajah kepemimpinan kita, kepemimpinan yang tak peduli dengan realita regenerasi. Pemimpin hanya sibuk dengan urusan diri sendiri. Saling sikut, saling bantai, dan kemudian akur ketika berbagi rejeki uang kolusi atau pun korupsi. Sementara itu, jika ada pemimpin yang tampaknya bersih, ternyata itu bukan karena dia bersih, melainkan karena dia tak lihai korupsi sehingga tak menerima bagiannya. Yang bersih diri, spiritual yang teruji, yang terpuji moral dan mentalnya, dan juga tinggi kemampuan intelektualnya, serta hebat kepemimpinannya, ternyata sulit ditemukan di antara ratusan juta orang. Mau ditunggu, orangnya belum lahir, mau diajak orangnya sudah mati. Ironis, itulah kenyataan pahit yang kita miliki, tak lucu, betul-betul tidak lucu.
Pemimpin kita hanya tampak pintar jika kebetulan lawannya sedang bodoh, tampak kuat jika lawannya sedang lemah. Mereka selalu berteriak tentang rakyat, namun tuli terhadap jeritannya, berpidato soal keadilan namun mengabaikan dan mempermainkan hak rakyat kecil. Lihatlah kisah lumpur Lapindo yang tak kunjung selesai, semua serba tarik-ulur. Pejabat mendadak tegas hanya jika sedang membutuhkan dukungan. Turun ke bawah hanya supaya dipilih kembali. Kebenaran yang membingungkan, itulah yang terus berdentang di negeriku tercinta. Kebenaran sejati seharusnya memerdekakan, memberikan ketenangan dan mudah untuk dimengerti. Masihkah layak untuk menanti episode kebenaran yang sejati? Jawabnya pasti, Anda dan saya tak layak menanti melainkan turun dan terlibat di dalamnya!
Selamat bertanding, menjadi pemimpin yang memiliki kebenaran yang sejati. Dan, awas jangan sampai terjebak pada kebenaran yang membingunkan, yang sejatinya adalah kemunafikan. Semoga Anda jengkel dengan model kepemimpinan yang ada, namun terpanggil untuk mengubahnya.

