KEPEKAAN YANG MELAHIRKAN PERUBAHAN
Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan telantar seperti domba yang tidak bergembala (Matius 9:36). Sebuah penggambaran yang memelas, tentang situasi dan kondisi Israel sebagai domba yang tak bergembala. Lelah, telantar, lukisan keprihatianan yang mendalam. Mereka tercerai-berai, berjalan menurut langkah masing-masing. Tak jelas arah tujuan, bahkan cenderung membahayakan diri sendiri, namun tidak pernah menyadarinya.
Dalam Perjanjian Lama (PL), Israel tercatat berulang kali memiliki raja yang bebal, yang tidak mau mendengarkan suara Allah. Raja-raja yang hanya memikirkan kepentingan dan kenikmatan dirinya, kelengkapan istananya, dan mengabaikan keperluan rakyat. Mereka biasa menari di atas penderitaan orang banyak, menyanyi di kepedihan hati orang susah, dan tertawa di antara linangan air mata. Bagi raja bebal ini yang penting adalah dirinya dan segala yang diperlukannya. Dalam pimpinan raja seperti inilah umat digambarkan sebagai domba yang kehilangan gembala (band, 1 Raja 22:17).
Di era Yesus Kristus Tuhan, bangsa Israel tak lagi memiliki raja, bahkan mereka tak lagi dipanggil sebagai Israel, melainkan Yahudi. Sebuah usaha penghapusan identitas oleh penjajah Israel yang cukup sukses. Israel yang tak lagi dipimpin oleh raja, kini dipimpin oleh Sanhedrin, yaitu mahkamah agama yang mengatur segala tata tertib kehidupan bermasyarakat. Secara tradisional Sanhedrin sudah ada sejak era Musa, namun kemudian tenggelam pada era kerajaan. Lalu di era Ezra, sekembalinya dari pembuangan, keberadaan mahkamah agama kembali ke permukaan, dan memegang peranan yang cukup strategis. Mahkamah agama memiliki pengaruh yang sangat kuat, dan diakui secara resmi oleh Roma, khususnya di era beberapa kaisar Roma. Jika demikian, mengapa Yesus menyebut umat seperti domba yang tak bergembala? Domba yang lelah dan telantar? Ya, itu bisa dimengerti sepenuhnya, karena para anggota mahkamah agama hanya sibuk dengan jabatan strategis mereka. Agama menjadi tunggangan empuk mereka dalam menggapai ambisi duniawinya. Bukannya mencari tahu apa yang menjadi kepentingan umat, sebaliknya mereka terus-menerus mencari peluang untuk memperkokoh posisi, pengaruh, dan keuntungan diri. Tak ada kepekaan mereka terhadap kondisi umat yang seharusnya mereka gembalakan.
Sebaliknya dengan Yesus Kristus, yang penuh perhatian, dan melihat jauh kedalam batin umat, menyadari sepenuhnya betapa umat dalam kondisi yang memprihatinkan. Umat yang tampaknya berada dalam sebuah sistem yang cukup baik. Umat yang memiliki tatanan ritual yang banyak, bahkan tergolong cukup rumit. Mereka harus terlibat dalam ritual ibadah, puasa, pentahiran, dan banyak hari raya keagamaan yang harus dijalani. Belum lagi rentetan berbagai aturan, seperti membasuh tangan dan lain sebagainya. Semua ritual yang sangat berkaitan erat dengan para imam. Ritual yang membuat posisi imam semakin hari semakin penting, dan menciptakan kebergantungan umat yang semakin menguat. Namun di saat bersamaan, para imam bukannya turun untuk hadir dan hidup bersama umat, melainkan menciptakan jarak dengan status pemimpin agama yang suci. Dari kejauhan yang mereka ciptakan, mereka membuat berbagai peraturan yang menjadi beban berat bagi umat. Di sisi lain, umat semakin hari semakin tertindas.
Saat itu, situasi sosial sungguh tidak menguntungkan bagi orang Israel sebagai orang jajahan. Tingginya pajak yang harus mereka tanggung menjadi beban ekonomi yang cukup berat. Mereka hidup bertani, namun lahan bukan milik sendiri. Lahan sewaan menghadirkan kesulitan tersendiri, karena harga sewa yang tak murah. Para tuan tanah cenderung menjadikan mereka bagai sapi perahan. Seringkali menjelang panen, bukan kegembiraan yang memancar dari wajah mereka, melainkan kedukaan. Mengapa? Karena hasil panen seringkali tak cukup untuk menutupi biaya operasional, ditambah bunga pinjaman yang mencekik. Lalu, para petinggi agama, bukannya menciptakan keringanan dan memberi pertolongan, namun menciptakan beban baru, yaitu kewajiban persembahan. Jika mereka tak tercatat sebagai pemberi perpuluhan, maka mereka akan dimasukkan dalam golongan “orang yang tak diberkati”. Mereka dikucilkan oleh para petinggi agama yang seharusnya merangkul mereka.
Yesus melihat semua kepedihan hati orang kebanyakan itu. Mereka lelah, mereka telantar, sementara pemimpin agama “megah dan terhormat”. Sebuah kejahatan kepemimpinan. Maka tak heran jika Yesus mengkritik mereka dengan pedas dan pernah menyebut mereka sebagai bangkai hidup. Pemimpin bak kuburan yang dilabur putih, yang megah dan wah dengan pakaian kehormatannya, namun busuk bangkai di dalamnya. Pemimpin agama ini bukannya sadar diri, sebaliknya mereka mencaci maki Yesus Sang Kebenaran. Pemimpin tak bernurani, membuat umat kehilangan jati diri, dan tak lagi mengerti artinya harapan. Bagi umat, hidup hanyalah soal saat ini, bukan nanti, apalagi esok hari.
Realita di era Yesus Kristus Tuhan, ternyata terus menggelinding di masa kini. Di kancah politik, kita sulit menemukan pemimpin yang bersimpati terhadap apa yang dialami rakyat kebanyakan. Lihatlah penderitaan rakyat Sidoarjo yang ditimpa kemalangan akibat semburan lumpur yang tak kunjung berakhir. Sementara mereka menangis, bahkan tak sedikit yang kehilangan ingatan, para pemimpin malah berbaris meneriakkan kesuksesan mereka memajukan bangsa ini. Entah ke mana hati nurani mereka, sehingga tak pernah cepat dan tuntas menolong rakyat mengakhiri penderitaan mereka. Namun, tak berarti lingkungan agama bersih dari kebusukan. Kondisinya ternyata nyaris mirip. Pemimpin agama juga banyak yang mirip dengan yang dulu. Mereka hanya asyik mengumpulkan kepuasan diri dengan jual-beli kebenaran. Ayat suci dikumandangkan, tapi kebusukan tak tersembunyikan. Tipu-menipu menjadi biasa, jutaan dalih datang silih berganti, semua hanya berakhir pada satu kata, palsu. Jika mereka menyebut terharu, berbelas kasihan, maka itu tak lebih dari retorika belaka. Umat semakin hari semakin letih dan telantar. Yang kaya mengeluh, karena biaya mendapatkan perhatian para petinggi agama makin hari makin tinggi. Sementara yang miskin tertunduk, tak pernah bisa membayangkan akan mendapatkan perhatian tulus seperti yang Yesus berikan kepada umat di masa pelayanannya.
Dunia semakin hari semakin gelap, dan di saat bersamaan dunia rohani dan politik semakin mirip. Diperlukan kepekaan yang mendalam pada seorang pemimpin, yang tahu kesulitan umat, dan ketelantaran mereka. Hanya dengan kepekaan, pemimpin akan tahu apa yang sesungguhnya terjadi, bukan hanya sekadar membaca laporan, atau data yang bisa direkayasa. Turun ke bawah, dengar jeritan mereka, dan menyatulah dalam kesulitan mereka, dan bersama keluar dari sana. Harapan masa depan pasti bersinar, dan perubahan bukan sekadar impian, kecuali Anda memang pemimpin pecundang.
Selamat menemukan panggilan sejati, menjadi pemimpin yang peka, gembala bagi mereka yang tercerai-berai. Semoga Anda menjadi ikon perubahan karena memiliki kepekaan.
Dalam Perjanjian Lama (PL), Israel tercatat berulang kali memiliki raja yang bebal, yang tidak mau mendengarkan suara Allah. Raja-raja yang hanya memikirkan kepentingan dan kenikmatan dirinya, kelengkapan istananya, dan mengabaikan keperluan rakyat. Mereka biasa menari di atas penderitaan orang banyak, menyanyi di kepedihan hati orang susah, dan tertawa di antara linangan air mata. Bagi raja bebal ini yang penting adalah dirinya dan segala yang diperlukannya. Dalam pimpinan raja seperti inilah umat digambarkan sebagai domba yang kehilangan gembala (band, 1 Raja 22:17).
Di era Yesus Kristus Tuhan, bangsa Israel tak lagi memiliki raja, bahkan mereka tak lagi dipanggil sebagai Israel, melainkan Yahudi. Sebuah usaha penghapusan identitas oleh penjajah Israel yang cukup sukses. Israel yang tak lagi dipimpin oleh raja, kini dipimpin oleh Sanhedrin, yaitu mahkamah agama yang mengatur segala tata tertib kehidupan bermasyarakat. Secara tradisional Sanhedrin sudah ada sejak era Musa, namun kemudian tenggelam pada era kerajaan. Lalu di era Ezra, sekembalinya dari pembuangan, keberadaan mahkamah agama kembali ke permukaan, dan memegang peranan yang cukup strategis. Mahkamah agama memiliki pengaruh yang sangat kuat, dan diakui secara resmi oleh Roma, khususnya di era beberapa kaisar Roma. Jika demikian, mengapa Yesus menyebut umat seperti domba yang tak bergembala? Domba yang lelah dan telantar? Ya, itu bisa dimengerti sepenuhnya, karena para anggota mahkamah agama hanya sibuk dengan jabatan strategis mereka. Agama menjadi tunggangan empuk mereka dalam menggapai ambisi duniawinya. Bukannya mencari tahu apa yang menjadi kepentingan umat, sebaliknya mereka terus-menerus mencari peluang untuk memperkokoh posisi, pengaruh, dan keuntungan diri. Tak ada kepekaan mereka terhadap kondisi umat yang seharusnya mereka gembalakan.
Sebaliknya dengan Yesus Kristus, yang penuh perhatian, dan melihat jauh kedalam batin umat, menyadari sepenuhnya betapa umat dalam kondisi yang memprihatinkan. Umat yang tampaknya berada dalam sebuah sistem yang cukup baik. Umat yang memiliki tatanan ritual yang banyak, bahkan tergolong cukup rumit. Mereka harus terlibat dalam ritual ibadah, puasa, pentahiran, dan banyak hari raya keagamaan yang harus dijalani. Belum lagi rentetan berbagai aturan, seperti membasuh tangan dan lain sebagainya. Semua ritual yang sangat berkaitan erat dengan para imam. Ritual yang membuat posisi imam semakin hari semakin penting, dan menciptakan kebergantungan umat yang semakin menguat. Namun di saat bersamaan, para imam bukannya turun untuk hadir dan hidup bersama umat, melainkan menciptakan jarak dengan status pemimpin agama yang suci. Dari kejauhan yang mereka ciptakan, mereka membuat berbagai peraturan yang menjadi beban berat bagi umat. Di sisi lain, umat semakin hari semakin tertindas.
Saat itu, situasi sosial sungguh tidak menguntungkan bagi orang Israel sebagai orang jajahan. Tingginya pajak yang harus mereka tanggung menjadi beban ekonomi yang cukup berat. Mereka hidup bertani, namun lahan bukan milik sendiri. Lahan sewaan menghadirkan kesulitan tersendiri, karena harga sewa yang tak murah. Para tuan tanah cenderung menjadikan mereka bagai sapi perahan. Seringkali menjelang panen, bukan kegembiraan yang memancar dari wajah mereka, melainkan kedukaan. Mengapa? Karena hasil panen seringkali tak cukup untuk menutupi biaya operasional, ditambah bunga pinjaman yang mencekik. Lalu, para petinggi agama, bukannya menciptakan keringanan dan memberi pertolongan, namun menciptakan beban baru, yaitu kewajiban persembahan. Jika mereka tak tercatat sebagai pemberi perpuluhan, maka mereka akan dimasukkan dalam golongan “orang yang tak diberkati”. Mereka dikucilkan oleh para petinggi agama yang seharusnya merangkul mereka.
Yesus melihat semua kepedihan hati orang kebanyakan itu. Mereka lelah, mereka telantar, sementara pemimpin agama “megah dan terhormat”. Sebuah kejahatan kepemimpinan. Maka tak heran jika Yesus mengkritik mereka dengan pedas dan pernah menyebut mereka sebagai bangkai hidup. Pemimpin bak kuburan yang dilabur putih, yang megah dan wah dengan pakaian kehormatannya, namun busuk bangkai di dalamnya. Pemimpin agama ini bukannya sadar diri, sebaliknya mereka mencaci maki Yesus Sang Kebenaran. Pemimpin tak bernurani, membuat umat kehilangan jati diri, dan tak lagi mengerti artinya harapan. Bagi umat, hidup hanyalah soal saat ini, bukan nanti, apalagi esok hari.
Realita di era Yesus Kristus Tuhan, ternyata terus menggelinding di masa kini. Di kancah politik, kita sulit menemukan pemimpin yang bersimpati terhadap apa yang dialami rakyat kebanyakan. Lihatlah penderitaan rakyat Sidoarjo yang ditimpa kemalangan akibat semburan lumpur yang tak kunjung berakhir. Sementara mereka menangis, bahkan tak sedikit yang kehilangan ingatan, para pemimpin malah berbaris meneriakkan kesuksesan mereka memajukan bangsa ini. Entah ke mana hati nurani mereka, sehingga tak pernah cepat dan tuntas menolong rakyat mengakhiri penderitaan mereka. Namun, tak berarti lingkungan agama bersih dari kebusukan. Kondisinya ternyata nyaris mirip. Pemimpin agama juga banyak yang mirip dengan yang dulu. Mereka hanya asyik mengumpulkan kepuasan diri dengan jual-beli kebenaran. Ayat suci dikumandangkan, tapi kebusukan tak tersembunyikan. Tipu-menipu menjadi biasa, jutaan dalih datang silih berganti, semua hanya berakhir pada satu kata, palsu. Jika mereka menyebut terharu, berbelas kasihan, maka itu tak lebih dari retorika belaka. Umat semakin hari semakin letih dan telantar. Yang kaya mengeluh, karena biaya mendapatkan perhatian para petinggi agama makin hari makin tinggi. Sementara yang miskin tertunduk, tak pernah bisa membayangkan akan mendapatkan perhatian tulus seperti yang Yesus berikan kepada umat di masa pelayanannya.
Dunia semakin hari semakin gelap, dan di saat bersamaan dunia rohani dan politik semakin mirip. Diperlukan kepekaan yang mendalam pada seorang pemimpin, yang tahu kesulitan umat, dan ketelantaran mereka. Hanya dengan kepekaan, pemimpin akan tahu apa yang sesungguhnya terjadi, bukan hanya sekadar membaca laporan, atau data yang bisa direkayasa. Turun ke bawah, dengar jeritan mereka, dan menyatulah dalam kesulitan mereka, dan bersama keluar dari sana. Harapan masa depan pasti bersinar, dan perubahan bukan sekadar impian, kecuali Anda memang pemimpin pecundang.
Selamat menemukan panggilan sejati, menjadi pemimpin yang peka, gembala bagi mereka yang tercerai-berai. Semoga Anda menjadi ikon perubahan karena memiliki kepekaan.

