INTEGRITAS BUKTI KUALITAS
KAMUS Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merumuskan integritas sebagai sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan, kejujuran. Sebuah kondisi yang sangat ideal yang patut ada pada seorang pemimpin. Di republik kita ini kata integritas sangat mudah terucap termasuk oleh mereka yang tak memiliki integritas. Mereka yang sangat tak layak mendiskusikannya, tapi sangat yakin memilikinya. Integritas dibawa ke ajang debat kusir. Asal bisa bertahan, hebatlah dia.
Ini dengan mudah akan Anda temukan dalam berbagai talk show yang makin banyak disajikan oleh dunia pertelevisian Indonesia. Para narasumber maju dan berbicara dengan ucapan klise dan selalu normatif. Berkelit dari gagal, dia menyebut ini tak mudah, namun kita tetap berusaha. Anehnya tetap berusaha, waktu berjalan, namun tetap saja tak ada hasil yang bisa dipertanggungjawabkan. Maklum karena semuanya hanya ada dalam kata, bukan dalam tindakan yang nyata. Memalukan, alih-alih mereka menyadari kegagalan, sebaliknya dengan bangga mereka menunding lawan atau yang lainnya tak mengerti, atau yang malah gagal. Celakanya, mereka berkedudukan sebagai pemimpin namun tak memiliki kapasitas untuk kedudukan itu.
Dunia kepemimpinan hari-hari ini diwarnai pemimpin yang minus integritas. Sebuah realita yang melahirkan keprihatinan yang mendalam. Akan ke mana bangsa ini melangkah jika pemimpin tak lagi memiliki integritas, bahkan pada tingkat terendah sekalipun. Dengan mudah kita akan disuguhkan perilaku eksekutif yang melahirkan keputusan-keputusan yang aji mumpung untuk menangguk untung. Lalu legislatif yang korup dan asyik bermain mata dengan yang diawasinya, namun selalu berbicara lantang seakan suci dirinya. Juga tak ketinggalan yudikatif yang membuat hukum semakin tumpul, dan kemudian menari-nari di atasnya. Bagi mereka hukum seakan ruang dalam dompet untuk tempat menyimpan dolar yang sangat mereka gemari.
Bagimana dengan gereja? Ternyata gereja juga tak imun dari virus dolar, bahkan sebaliknya, mengeduk dan menumpuknya untuk diri sendiri atas nama berkat surgawi. Yang jujur hanyalah mereka yang tidak berdaya, karena tak bisa apa-apa, dan tak punya kesempatan untuk melakoninya. Jadi mereka jujur, juga bukan karena mereka jujur, tapi lebih karena tak ada kesempatan baginya untuk bermain tak jujur.
Dunia memang semakin edan, kesurupan dengan ketidakjujuran. Dibutuhkan pemimpin yang mencintai kejujuran, yang tak tak bisa tidur karena gelisah jika menabraknya. Pemimpin yang memiliki nurani yang peka dan kepemimpinan yang mumpuni dalam konteks Indonesia yang majemuk ini. Indonesia akan terkondisi dalam siaga merah jika pemimpinnya sektarianis, primodialis, yang sempit, yang hanya memikirkan kelompoknya. Ini pun bernama pemimpin tak berintegritas yang tak mampu berpikir komprehensip dan tak jujur pada realita keberagaman sebagai fakta yang tidak terbantahkan.
Situasi dan kondisi harus bisa diatasi dan tak boleh dimanipulasi untuk tempat bersembunyi dalam membuat keputusan. Pemimpin berintegritas harus bisa menjadi pemimpin dalam kepelbagaian perbedaan yang ada, yang justru mampu menciptakan persatuan dan membuat perbedaan menjadi kekayaan yang tak terbilang. Pemimpin berintegritas akan menjadi tipe pemimpin yang tahan uji, terpuji, dan terlatih dalam berbagai kondisi. Lihatlah mental seorang Ayub yang berintegritas. Ayub tampil menjadi pemimpin ideal dalam melintasi kesulitan yang menghadang di depan kehidupannya. Alkitab menyebut Ayub sebagai seorang yang berintegritas, seorang yang menjauhi kejahatan dan tekun dalam kesalehan (Ayub 2:3, versi Inggris Integrity).
Takut akan Allah membuat Ayub menjadi seorang yang berintegritas, yang selalu menjauhkan diri dari berbagai kejahatan, dan memiliki ketekunan dalam menjalani semuanya. Ayub bahkan tetap tak mengeluh ketika kepahitan hinggap di dalam kehidupannya. Kehilangan harta yang disusul dengan kehilangan anak, tak membuat Ayub mengubah sikap. Bahkan ketika istrinya tak lagi kuat menerima kenyataan hidup dan menuduh Allah sebagai yang tak adil, dan berketetapan meninggalkan Ayub karena tetap percaya tak ada yang salah dengan ketetapan Allah.
Ayub, luar biasa. Ketika sendiri pun dia tetap berdiri di jalan yang benar. Ayub tak melacurkan diri dengan kemudahan dan kenikmatan jaman. Sekalipun kepahitan tak terbilang karena kehilangan segalanya, termasuk ditinggal istrinya, juga teman-temannya, Ayub tetaplah Ayub yang berdiri di jalan yang benar. Integritasnya teruji, keputusannya tepat dan menyelamatkan banyak orang yang mengikuti jalannya untuk menikmati anugerah Allah.
Seharusnyalah seorang pemimpin seperti Ayub, tegar dalam berbagai situasi, dan tak berusaha menyelamatkan diri sendiri, melainkan melakukan apa yang benar. Dia tak berubah menjadi opportunis, mengambil keuntungan dengan mengabaikan kebenaran. Ayub tak seperti istri atau pun teman-temannya yang hanya melihat diri, tapi lalai dalam menjalani hidup yang benar. Kesulitan demi kesulitan dilalui Ayub dalam perjalanan waktu yang tak mudah, sampai Ayub membuktikan diri sebagai pemimpin yang teruji. Dia mampu mengendalikan diri dan memimpin dirinya dengan baik sehingga menjadi model yang baik. Kata kunci yang menarik adalah karena Ayub takut akan Allah.
Pemimpin masa kini justru kebalikannya, baik di arena politik termasuk rohani, pemimpin menyebut nama Allah bukan dalam konteks takut akan Allah melainkan memanfaatkan nama Allah. Penyebutan nama yang sembarangan, hingga menjual nama Allah supaya tampak rohani menjadi hal yang biasa bagi kebanyakan pemimpin. Apa yang mereka katakan tentang dan dalam nama Allah sangat berbeda dengan apa yang mereka lakukan. Meka tak berintegritas. Bayangkan, jika nama Allah saja bisa, dan dengan beraninya, mereka jadikan komoditi, apalagi sekadar nama orang. Tak heran jika mereka seringkali tak segan “meminta dukungan” dengan menyertakan kepentingan rohani, padahal sejatinya ini praktek suap. Katabelece pun berseliweran ke sana kemari, semua bernada harap dibantu untuk kepentingan ini dan itu. Pemimpin yang berintegritas, jika ingin memberi dia tak meminta orang lain melainkan memberi berdasarkan kemampuan yang ada pada dirinya. Pemimpin yang selalu rindu menjadi model bagi orang yang dipimpinnya. Dia rela menanggung segala konsekuensi akibat pilihannya, termasuk yang terpahit sekalipun.
Masihkah ada pemimpin berintegritas di negeri tercinta ini? Tontonlah televisi, dengar apa kata mereka, dan amatilah berita tentang mereka, dan Anda harus bersiap-siap untuk kecewa. Harapan tentu saja harus dibangun bahwa akan muncul pemimpin yang berintegritas, namun itu tak cukup hanya menjadi impian melainkan harus direalisasikan. Untuk itu kita tak lagi boleh hanya duduk sebagai pengamat, dan sekadar komentator, tetapi turun menghardik, dan jika diperlukan, Anda dan saya harus menjadi modelnya. Berintegritas sebagai bukti kualitas harus dijadikan syarat mutlak bagi seorang yang ingin jadi pemimpin, baik di dunia politik terlebih lagi rohani. Itu jika kita masih menginginkan masa depan yang lebih baik, namun jika Anda memang sudah apatis, ya terimalah. Wariskan pada anak cucu kita sifat pengecut, opportunis, dan kemiskinan moral yang parah, supaya mereka hancur total. Tapi saya, dan semoga juga Anda yang membaca, mari kita buktikan integritas ada dalam diri, sebagai orang yang berkualitas. Selamat bertanding.
Ini dengan mudah akan Anda temukan dalam berbagai talk show yang makin banyak disajikan oleh dunia pertelevisian Indonesia. Para narasumber maju dan berbicara dengan ucapan klise dan selalu normatif. Berkelit dari gagal, dia menyebut ini tak mudah, namun kita tetap berusaha. Anehnya tetap berusaha, waktu berjalan, namun tetap saja tak ada hasil yang bisa dipertanggungjawabkan. Maklum karena semuanya hanya ada dalam kata, bukan dalam tindakan yang nyata. Memalukan, alih-alih mereka menyadari kegagalan, sebaliknya dengan bangga mereka menunding lawan atau yang lainnya tak mengerti, atau yang malah gagal. Celakanya, mereka berkedudukan sebagai pemimpin namun tak memiliki kapasitas untuk kedudukan itu.
Dunia kepemimpinan hari-hari ini diwarnai pemimpin yang minus integritas. Sebuah realita yang melahirkan keprihatinan yang mendalam. Akan ke mana bangsa ini melangkah jika pemimpin tak lagi memiliki integritas, bahkan pada tingkat terendah sekalipun. Dengan mudah kita akan disuguhkan perilaku eksekutif yang melahirkan keputusan-keputusan yang aji mumpung untuk menangguk untung. Lalu legislatif yang korup dan asyik bermain mata dengan yang diawasinya, namun selalu berbicara lantang seakan suci dirinya. Juga tak ketinggalan yudikatif yang membuat hukum semakin tumpul, dan kemudian menari-nari di atasnya. Bagi mereka hukum seakan ruang dalam dompet untuk tempat menyimpan dolar yang sangat mereka gemari.
Bagimana dengan gereja? Ternyata gereja juga tak imun dari virus dolar, bahkan sebaliknya, mengeduk dan menumpuknya untuk diri sendiri atas nama berkat surgawi. Yang jujur hanyalah mereka yang tidak berdaya, karena tak bisa apa-apa, dan tak punya kesempatan untuk melakoninya. Jadi mereka jujur, juga bukan karena mereka jujur, tapi lebih karena tak ada kesempatan baginya untuk bermain tak jujur.
Dunia memang semakin edan, kesurupan dengan ketidakjujuran. Dibutuhkan pemimpin yang mencintai kejujuran, yang tak tak bisa tidur karena gelisah jika menabraknya. Pemimpin yang memiliki nurani yang peka dan kepemimpinan yang mumpuni dalam konteks Indonesia yang majemuk ini. Indonesia akan terkondisi dalam siaga merah jika pemimpinnya sektarianis, primodialis, yang sempit, yang hanya memikirkan kelompoknya. Ini pun bernama pemimpin tak berintegritas yang tak mampu berpikir komprehensip dan tak jujur pada realita keberagaman sebagai fakta yang tidak terbantahkan.
Situasi dan kondisi harus bisa diatasi dan tak boleh dimanipulasi untuk tempat bersembunyi dalam membuat keputusan. Pemimpin berintegritas harus bisa menjadi pemimpin dalam kepelbagaian perbedaan yang ada, yang justru mampu menciptakan persatuan dan membuat perbedaan menjadi kekayaan yang tak terbilang. Pemimpin berintegritas akan menjadi tipe pemimpin yang tahan uji, terpuji, dan terlatih dalam berbagai kondisi. Lihatlah mental seorang Ayub yang berintegritas. Ayub tampil menjadi pemimpin ideal dalam melintasi kesulitan yang menghadang di depan kehidupannya. Alkitab menyebut Ayub sebagai seorang yang berintegritas, seorang yang menjauhi kejahatan dan tekun dalam kesalehan (Ayub 2:3, versi Inggris Integrity).
Takut akan Allah membuat Ayub menjadi seorang yang berintegritas, yang selalu menjauhkan diri dari berbagai kejahatan, dan memiliki ketekunan dalam menjalani semuanya. Ayub bahkan tetap tak mengeluh ketika kepahitan hinggap di dalam kehidupannya. Kehilangan harta yang disusul dengan kehilangan anak, tak membuat Ayub mengubah sikap. Bahkan ketika istrinya tak lagi kuat menerima kenyataan hidup dan menuduh Allah sebagai yang tak adil, dan berketetapan meninggalkan Ayub karena tetap percaya tak ada yang salah dengan ketetapan Allah.
Ayub, luar biasa. Ketika sendiri pun dia tetap berdiri di jalan yang benar. Ayub tak melacurkan diri dengan kemudahan dan kenikmatan jaman. Sekalipun kepahitan tak terbilang karena kehilangan segalanya, termasuk ditinggal istrinya, juga teman-temannya, Ayub tetaplah Ayub yang berdiri di jalan yang benar. Integritasnya teruji, keputusannya tepat dan menyelamatkan banyak orang yang mengikuti jalannya untuk menikmati anugerah Allah.
Seharusnyalah seorang pemimpin seperti Ayub, tegar dalam berbagai situasi, dan tak berusaha menyelamatkan diri sendiri, melainkan melakukan apa yang benar. Dia tak berubah menjadi opportunis, mengambil keuntungan dengan mengabaikan kebenaran. Ayub tak seperti istri atau pun teman-temannya yang hanya melihat diri, tapi lalai dalam menjalani hidup yang benar. Kesulitan demi kesulitan dilalui Ayub dalam perjalanan waktu yang tak mudah, sampai Ayub membuktikan diri sebagai pemimpin yang teruji. Dia mampu mengendalikan diri dan memimpin dirinya dengan baik sehingga menjadi model yang baik. Kata kunci yang menarik adalah karena Ayub takut akan Allah.
Pemimpin masa kini justru kebalikannya, baik di arena politik termasuk rohani, pemimpin menyebut nama Allah bukan dalam konteks takut akan Allah melainkan memanfaatkan nama Allah. Penyebutan nama yang sembarangan, hingga menjual nama Allah supaya tampak rohani menjadi hal yang biasa bagi kebanyakan pemimpin. Apa yang mereka katakan tentang dan dalam nama Allah sangat berbeda dengan apa yang mereka lakukan. Meka tak berintegritas. Bayangkan, jika nama Allah saja bisa, dan dengan beraninya, mereka jadikan komoditi, apalagi sekadar nama orang. Tak heran jika mereka seringkali tak segan “meminta dukungan” dengan menyertakan kepentingan rohani, padahal sejatinya ini praktek suap. Katabelece pun berseliweran ke sana kemari, semua bernada harap dibantu untuk kepentingan ini dan itu. Pemimpin yang berintegritas, jika ingin memberi dia tak meminta orang lain melainkan memberi berdasarkan kemampuan yang ada pada dirinya. Pemimpin yang selalu rindu menjadi model bagi orang yang dipimpinnya. Dia rela menanggung segala konsekuensi akibat pilihannya, termasuk yang terpahit sekalipun.
Masihkah ada pemimpin berintegritas di negeri tercinta ini? Tontonlah televisi, dengar apa kata mereka, dan amatilah berita tentang mereka, dan Anda harus bersiap-siap untuk kecewa. Harapan tentu saja harus dibangun bahwa akan muncul pemimpin yang berintegritas, namun itu tak cukup hanya menjadi impian melainkan harus direalisasikan. Untuk itu kita tak lagi boleh hanya duduk sebagai pengamat, dan sekadar komentator, tetapi turun menghardik, dan jika diperlukan, Anda dan saya harus menjadi modelnya. Berintegritas sebagai bukti kualitas harus dijadikan syarat mutlak bagi seorang yang ingin jadi pemimpin, baik di dunia politik terlebih lagi rohani. Itu jika kita masih menginginkan masa depan yang lebih baik, namun jika Anda memang sudah apatis, ya terimalah. Wariskan pada anak cucu kita sifat pengecut, opportunis, dan kemiskinan moral yang parah, supaya mereka hancur total. Tapi saya, dan semoga juga Anda yang membaca, mari kita buktikan integritas ada dalam diri, sebagai orang yang berkualitas. Selamat bertanding.

