APAKAH ANDA LAYAK DIPERCAYA?
Rasul Paulus dalam suratnya kepada Timotius berkata, “Apa yang telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain” (2 Timotius 2: 2). Perkataan Paulus ini terasa sangat kental sebagai sebuah konsekuensi menerima, bukan untuk berhenti pada diri, melainkan terus berlanjut pada sebuah garis yang tak putus. Ya, sebuah kaderisasi yang sangat bijaksana, sebagai wujud semangat yang mampu membaca realita di depan. Paulus mau supaya Timotius belajar bagaimana mempersiapkan para pelayan bukan hanya di kekinian tetapi juga di masa mendatang. Sebuah visi kepemimpinan yang sangat kental.   
Dari sini umat bisa belajar betapa Alkitab sangat memperhatikan kaderisasi yang harus diimplementasikan dalam berbagai segi. Yang pertama dan sangat penting yaitu, apa yang telah engkau dengar. Bagian ini dengan tegas mengungkapkan siapa yang bisa melakukan kaderisasi, yaitu mereka yang telah lulus pengkaderan. Artinya ada kualifikasi yang telah dipenuhi dan mereka teruji untuk melakukan kaderisasi. Ini menjadi sangat penting, karena dalam realita kepemimpinan ada banyak orang duduk untuk menyeleksi, namun mereka sendiri tidak pernah mengikuti seleksi. Oportunis seperti ini hanya akan menjadi virus perusak yang akan melahirkan orang-orang yang tak berkemampuan memimpin, menjadi pemimpin yang tak mampu. Dengan mudah kita akan menemukan orang yang tak layak melakukan fit and proper test (uji kelayakan atas orang lain), terlibat aktif melakukan tes. Dia sungguh tak layak, baik dari segi knowledge, skill, apalagi integritasnya tidak mendukung. Maka, dengan mudah akan terbaca hasil tes yang dilakukannya.
Di republik ini, hal seperti itu banyak terjadi, dan yang ironis yang melakukan tak tahu diri apalagi tahu malu, bahkan sebaliknya merasa hebat. Inilah karut-marut di dunia politik yang tak jelas ukurannya. Asal banyak jumlahnya maka benarlah penilaiannya. Sebaliknya biarpun dia ahli, jika sedikit jumlahnya, sudah pasti dia akan kalah suara, alias menjadi salah. Dalam berbagai talk show di televisi, dengan mudah akan terbaca, yang mereka bicarakan hanyalah hal-hal normatif yang sama sekali tidak edukatif. Membela diri dengan bersilat kata, lalu mencari contoh jelek untuk menyembunyikan kejelakan dirinya. Itu sudah jadi gaya yang memuakkan rasa ingin tahu anak bangsa yang cerdas dan mau belajar. Tapi itulah realita, dan, ah… mereka pasti akan mendebat pendapat ini dengan sejuta argumentasi, maklum memang mereka ahli berkata-kata. Tapi yang pasti, mereka miskin prestasi yang terpuji dan teruji, sekalipun rajin memuji-muji diri.
Yang kedua, tentu saja seleksi. Ingat, yang meyeleksi haruslah mereka yang pernah lulus seleksi dan teruji sebagai kader berkelas. Seleksi bukan berdasarkan nepotisme, apalagi kolusi beraroma korupsi. Seleski bukanlah tempat jual beli, tapi uji kemampuan diri. Diharapkan mereka tahu diri dan tak terjebak menjual diri. Seleksi adalah kehormatan, dan adalah terhormat jika tak lulus mundur, sekalipun memang banyak oportunis yang akan segera merebut posisi itu. Oportunis memang tak lagi punya rasa hormat, tak lagi punya rasa malu, mereka hanya bisa bikin malu (entah bagaimana keluarganya bisa menikmati hasil yang dibawanya pulang, atau mungkin dia juga berhasil membuat seisi rumahnya sama oportunisnya). Seleksi yang seharusnya memberi nilai tinggi pada diri seringkali dicibir sebagai proses basa-basi. Maklumlah, kebusukan memang hampir merata.
Itu sebab, apa yang dikatakan Paulus menjadi signifikan bagi orang percaya, yaitu “percayakan kepada orang yang bisa dipercaya”. Seleksi harus melahirkan calon pemimpin yang memiliki integritas dan spritualitas yang terpuji. Dia tak sekadar cerdas, tetapi juga mawas diri dan mampu mengendalikan diri. Siap bertanding di panggung kemunafikan tanpa terpolusi, menyuarakan kebenaran tanpa berhenti dan siap menanggung semua konsekuensi. Untuk menggapai apa yang diharapkan, maka yang ketiga kaderisasi dijalankan.
Kaderisasi bukan sekadar latihan kepemimpinan, tapi juga kesetiaan, bukan hanya membangun kemampuan tapi juga penguasaan diri. Dalam kaderisasi, waktu akan melengkapi setiap kekurangan diri. Kader memerlukan model yang pas untuk dijadikan panutan dalam pembentukan mental, moral dan terutama spiritual. Ini harus menjadi sebuah kesatuan dalam dirinya. Keterlibatan langsung kader dalam pergerakan tak boleh diabaikan. Seperti ketika Paulus mengkader Timotius, keterlibatan Timotius secara langsung dalam pelayanan Paulus sangat terasa. Kedekatan hubungan emosi juga sangat kental dalam nuansa bapak dan anak rohani.
Dalam 2 Tiomotius, surat Paulus dikenal sebagai surat yang penuh dengan air mata. Dalam keterlibatan langsung perkembangan kader akan mudah dideteksi. Apakah pengetahuan dan tindakan muncul dalam keseimbangan, atau sebaliknya. Setelah kaderisasi, maka yang berikut adalah evaluasi. Apakah proses yang telah dijalani memberikan gambaran yang diharapkan? Apakah sudah waktunya menyerahkan tongkat kepemimpinan untuk dilanjutkan? Evaluasi sangat diperlukan, membuat berbagai catatan penting tentang apa yang sudah ada dan kurang. Juga keunggulan dan kelemahannya sekaligus. Ini diperlukan agar kader selalu mawas diri dan tidak cepat puas diri. Memahami dengan utuh apa yang akan menjadi konsekuensi dari tanggung jawab yang diterima.
Kebanyakan kader tenggelam hanya dalam angan empuknya kursi yang akan diwarisi. Mereka hanya membayangkan hak, tapi lalai pada kewajiban inti. Kewajiban seorang pemimpin dengan sejuta risiko. Dalam kancah perpartaian, kaderisasi kebanyakan retorika. Unsur suka atau tidak, dekat atau jauh, sangat terasa. Kolusi bisa mempercepat kroni menjadi kader karbitan, dan ini seringkali menimbulkan kekecewaan mendalam pada kader sejati. Sehingga hasil pengkaderan justru kontra-produktif. Para kader yang merasa diabaikan menjadi duri dalam daging, atau keluar dan menjadi lawan sekalian. Karena itulah penghargaan dan kesetiaan pada para kader harus tampak nyata dan terukur. Sehingga loyalitas dan dedikasi mereka bisa diandalkan dalam waktu yang panjang. Nah, barulah lonceng pendelegasian dibunyikan.
Para pemimpin tua yang tak ingin tergantikan, mereka tak lebih dari gambaran kegagalan melakukan pengkaderan. Ini penyakit dalam kepemimpinan di dunia timur. Baik di dalam ranah sosial, politik, bahkan agama, yang tua selalu merasa tak tergantikan. Ini sangat menghambat suksesi, dan memacetkan perputaran roda organisasi. pendelegasian memang tidak baik jika terlalu cepat, namun terlambat juga membahayakan. Pendelegasian yang tepat waktu hanya dimungkinkan jika ada pengkaderan yang terpola, terukur, dan dijalankan dalam sistem yang baik dan benar. Dengan pola yang bisa dipertanggungjawabkan, maka pemimpin yang bisa dipercaya akan terus dimunculkan. Kepemimpinan yang sekadar berbasis pada kharisma bisa jadi sangat berbahaya jika tanpa sistem yang baik. Tetapi kharisma akan melahirkan seorang pemimpin yang kuat dan maksimal jika didukung sistem yang baik.
Apakah Anda orang berkharisma? Jangan buru-buru bangga dan kemudian mengabaikan yang lainnya. Sebaliknya, apakah Anda tak punya kharisma? Ternyata belajar, dan terus mau belajar, bisa menjadikan Anda pemimpin yang bisa diandalkan. Pertanyaannya, apakah Anda bisa dipercaya, sehingga layak menerima tampuk kepemimpinan? Percaya (spiritual, moral, mental) dan kecakapan (pengetahuan dan pengalaman), akan menjadikan Anda pemimpin yang layak dipercaya. Selamat menerima kepercayaan. Tapi juga, semoga tersisa rasa malu kalau Anda kurang pas, jangan memaksa diri, melainkan harus tahu diri, atau Anda memang cuma pemimpin kelas teri.
Dari sini umat bisa belajar betapa Alkitab sangat memperhatikan kaderisasi yang harus diimplementasikan dalam berbagai segi. Yang pertama dan sangat penting yaitu, apa yang telah engkau dengar. Bagian ini dengan tegas mengungkapkan siapa yang bisa melakukan kaderisasi, yaitu mereka yang telah lulus pengkaderan. Artinya ada kualifikasi yang telah dipenuhi dan mereka teruji untuk melakukan kaderisasi. Ini menjadi sangat penting, karena dalam realita kepemimpinan ada banyak orang duduk untuk menyeleksi, namun mereka sendiri tidak pernah mengikuti seleksi. Oportunis seperti ini hanya akan menjadi virus perusak yang akan melahirkan orang-orang yang tak berkemampuan memimpin, menjadi pemimpin yang tak mampu. Dengan mudah kita akan menemukan orang yang tak layak melakukan fit and proper test (uji kelayakan atas orang lain), terlibat aktif melakukan tes. Dia sungguh tak layak, baik dari segi knowledge, skill, apalagi integritasnya tidak mendukung. Maka, dengan mudah akan terbaca hasil tes yang dilakukannya.
Di republik ini, hal seperti itu banyak terjadi, dan yang ironis yang melakukan tak tahu diri apalagi tahu malu, bahkan sebaliknya merasa hebat. Inilah karut-marut di dunia politik yang tak jelas ukurannya. Asal banyak jumlahnya maka benarlah penilaiannya. Sebaliknya biarpun dia ahli, jika sedikit jumlahnya, sudah pasti dia akan kalah suara, alias menjadi salah. Dalam berbagai talk show di televisi, dengan mudah akan terbaca, yang mereka bicarakan hanyalah hal-hal normatif yang sama sekali tidak edukatif. Membela diri dengan bersilat kata, lalu mencari contoh jelek untuk menyembunyikan kejelakan dirinya. Itu sudah jadi gaya yang memuakkan rasa ingin tahu anak bangsa yang cerdas dan mau belajar. Tapi itulah realita, dan, ah… mereka pasti akan mendebat pendapat ini dengan sejuta argumentasi, maklum memang mereka ahli berkata-kata. Tapi yang pasti, mereka miskin prestasi yang terpuji dan teruji, sekalipun rajin memuji-muji diri.
Yang kedua, tentu saja seleksi. Ingat, yang meyeleksi haruslah mereka yang pernah lulus seleksi dan teruji sebagai kader berkelas. Seleksi bukan berdasarkan nepotisme, apalagi kolusi beraroma korupsi. Seleski bukanlah tempat jual beli, tapi uji kemampuan diri. Diharapkan mereka tahu diri dan tak terjebak menjual diri. Seleksi adalah kehormatan, dan adalah terhormat jika tak lulus mundur, sekalipun memang banyak oportunis yang akan segera merebut posisi itu. Oportunis memang tak lagi punya rasa hormat, tak lagi punya rasa malu, mereka hanya bisa bikin malu (entah bagaimana keluarganya bisa menikmati hasil yang dibawanya pulang, atau mungkin dia juga berhasil membuat seisi rumahnya sama oportunisnya). Seleksi yang seharusnya memberi nilai tinggi pada diri seringkali dicibir sebagai proses basa-basi. Maklumlah, kebusukan memang hampir merata.
Itu sebab, apa yang dikatakan Paulus menjadi signifikan bagi orang percaya, yaitu “percayakan kepada orang yang bisa dipercaya”. Seleksi harus melahirkan calon pemimpin yang memiliki integritas dan spritualitas yang terpuji. Dia tak sekadar cerdas, tetapi juga mawas diri dan mampu mengendalikan diri. Siap bertanding di panggung kemunafikan tanpa terpolusi, menyuarakan kebenaran tanpa berhenti dan siap menanggung semua konsekuensi. Untuk menggapai apa yang diharapkan, maka yang ketiga kaderisasi dijalankan.
Kaderisasi bukan sekadar latihan kepemimpinan, tapi juga kesetiaan, bukan hanya membangun kemampuan tapi juga penguasaan diri. Dalam kaderisasi, waktu akan melengkapi setiap kekurangan diri. Kader memerlukan model yang pas untuk dijadikan panutan dalam pembentukan mental, moral dan terutama spiritual. Ini harus menjadi sebuah kesatuan dalam dirinya. Keterlibatan langsung kader dalam pergerakan tak boleh diabaikan. Seperti ketika Paulus mengkader Timotius, keterlibatan Timotius secara langsung dalam pelayanan Paulus sangat terasa. Kedekatan hubungan emosi juga sangat kental dalam nuansa bapak dan anak rohani.
Dalam 2 Tiomotius, surat Paulus dikenal sebagai surat yang penuh dengan air mata. Dalam keterlibatan langsung perkembangan kader akan mudah dideteksi. Apakah pengetahuan dan tindakan muncul dalam keseimbangan, atau sebaliknya. Setelah kaderisasi, maka yang berikut adalah evaluasi. Apakah proses yang telah dijalani memberikan gambaran yang diharapkan? Apakah sudah waktunya menyerahkan tongkat kepemimpinan untuk dilanjutkan? Evaluasi sangat diperlukan, membuat berbagai catatan penting tentang apa yang sudah ada dan kurang. Juga keunggulan dan kelemahannya sekaligus. Ini diperlukan agar kader selalu mawas diri dan tidak cepat puas diri. Memahami dengan utuh apa yang akan menjadi konsekuensi dari tanggung jawab yang diterima.
Kebanyakan kader tenggelam hanya dalam angan empuknya kursi yang akan diwarisi. Mereka hanya membayangkan hak, tapi lalai pada kewajiban inti. Kewajiban seorang pemimpin dengan sejuta risiko. Dalam kancah perpartaian, kaderisasi kebanyakan retorika. Unsur suka atau tidak, dekat atau jauh, sangat terasa. Kolusi bisa mempercepat kroni menjadi kader karbitan, dan ini seringkali menimbulkan kekecewaan mendalam pada kader sejati. Sehingga hasil pengkaderan justru kontra-produktif. Para kader yang merasa diabaikan menjadi duri dalam daging, atau keluar dan menjadi lawan sekalian. Karena itulah penghargaan dan kesetiaan pada para kader harus tampak nyata dan terukur. Sehingga loyalitas dan dedikasi mereka bisa diandalkan dalam waktu yang panjang. Nah, barulah lonceng pendelegasian dibunyikan.
Para pemimpin tua yang tak ingin tergantikan, mereka tak lebih dari gambaran kegagalan melakukan pengkaderan. Ini penyakit dalam kepemimpinan di dunia timur. Baik di dalam ranah sosial, politik, bahkan agama, yang tua selalu merasa tak tergantikan. Ini sangat menghambat suksesi, dan memacetkan perputaran roda organisasi. pendelegasian memang tidak baik jika terlalu cepat, namun terlambat juga membahayakan. Pendelegasian yang tepat waktu hanya dimungkinkan jika ada pengkaderan yang terpola, terukur, dan dijalankan dalam sistem yang baik dan benar. Dengan pola yang bisa dipertanggungjawabkan, maka pemimpin yang bisa dipercaya akan terus dimunculkan. Kepemimpinan yang sekadar berbasis pada kharisma bisa jadi sangat berbahaya jika tanpa sistem yang baik. Tetapi kharisma akan melahirkan seorang pemimpin yang kuat dan maksimal jika didukung sistem yang baik.
Apakah Anda orang berkharisma? Jangan buru-buru bangga dan kemudian mengabaikan yang lainnya. Sebaliknya, apakah Anda tak punya kharisma? Ternyata belajar, dan terus mau belajar, bisa menjadikan Anda pemimpin yang bisa diandalkan. Pertanyaannya, apakah Anda bisa dipercaya, sehingga layak menerima tampuk kepemimpinan? Percaya (spiritual, moral, mental) dan kecakapan (pengetahuan dan pengalaman), akan menjadikan Anda pemimpin yang layak dipercaya. Selamat menerima kepercayaan. Tapi juga, semoga tersisa rasa malu kalau Anda kurang pas, jangan memaksa diri, melainkan harus tahu diri, atau Anda memang cuma pemimpin kelas teri.

