Pemimpin dengan Falsafah Kelapa
Realita kepemimpinan dalam hidup keseharian semakin hari semakin memprihatinkan. Dalam pentas politik terasa semakin menggelitik karena perilaku korupsi yang semakin menjadi. Seribu dalih dilemparkan, coba lari, meloloskan diri dari tanggung jawab. Sementara di eksekutif, seringkali tampil tak se-eksekutif kelasnya, bahkan terkesan hanya pandai bicara, tapi tak pandai bekerja sama. Kesemrawutan demi kesemrawutan peraturan yang tumpang tindih menjadi produknya yang tak terbantah. Di ranah yudikatif pun tak kalah memelasnya, karena di sana hukum seringkali dihadirkan hanya dalam wacana dan debat kata, lari dari hakekat hukum yang memiliki supremasi. Hukum diperjualbelikan, sementara si  penjual mengaku pendekar.   
Para tokoh yang memproklamirkan diri sebagai lokomotif demokrasi dan hukum, ternyata tak konsisten dalam bersikap. Tak jelas yang mana musuhnya, yang pasti yang tak sejalan dengannya. Sehingga tak jelas isu apa sebetulnya yang penting dalam membangun demokrasi, karena pribadi yang menjadi ukuran. Sementara seliweran oportunis terasa semakin panjang. Penjaja diri, hingga manipulasi diri, bermunculan melengkapi kemunafikan yang ada.
Lalu, bagaimana di arena agama? Ternyata setali tiga uang. Agama yang seharusnya menjadi pusat periksa diri agar tetap suci, ternyata penuh virus yang mematikan. Para pemimpin agama bukannya beragama (beribadah), melainkan memanfaatkan agama (institusi) untuk kepentingan diri. Meraup keuntungan yang tak kecil, dari jual beli suara hingga jual beli tenaga alias kekuatan. Belum lagi yang memutarbalikkan dukungan dana untuk orang susah, menjadi untuk mempersusah orang dengan mempersenang diri.
Di gereja, semarak meraup keuntungan dari persembahan sudah jadi cerita kesehariaan. Pemimpin agama tak lagi sungkan memasang tarif berkhotbah, bahkan lengkap dengan ketentuan fasilitas yang harus dilengkapi. Berkat datang dari dan milik Tuhan, tapi memanfaatkan nama Tuhan untuk mengeruk berkat dari umat adalah sebuah kejahatan. Ah, betapa suramnya masa depan kepemimpinan dalam berbagai aspek kehidupan. Kebanyakan pemimpin tak lagi memberi manfaat kehadiran dirinya, tetapi sebaliknya memanfaatkan orang yang dipimpinnya untuk keuntungannya. Pemimpin yang seharusnya menciptakan perubahan dari yang tak ada menjadi ada, justru sebaliknya menghabiskan apa yang ada. Yang seharusnya membuat benar yang tidak benar, malah menciptakan ketidakbenaran dalam tingkat yang menakutkan.
Pemimpin dan kegelapan semakin menyatu, dan hadir menggelisahkan diri. Kita butuh pemimpin yang berfalsafah kelapa, bukan sekadar pemimpin yang hanya mau jadi kepala. Pemimpin yang hanya mau jadi kepala selalu menutut tanpa memberi, mengatur tanpa menjadi motor, memproklamirkan diri sebagai yang hebat tetapi tidak rela melayani. Pemimpin kepala harus bisa menjadi pemimpin kelapa. Pemimpin berfalsafah kelapa selalu sadar nilai dan kemampuan diri. Pemimpin berfasalfah kelapa selalu memberi potensi diri dalam mengabdi. Tidak ada yang tersisa ketika dia memberi kepada yang yang dipimpinnya. Dengan segera dia akan mencipta perubahan nyata yang tidak terbantah.
Lihatlah kelapa dalam berkarya. Kelapa bertumbuh dan menghasilkan buah. Sebagai buah, kelapa tak hanya memberi rasa, tapi juga manfaat yang luar biasa. Kelapa bisa jadi buah yang banyak manfaat, tapi juga air kelapa yang menyegarkan. Kelapa bisa jadi santan yang melezatkan banyak aneka pilihan makanan. Dan, kelapa tak berhenti di sana, dia terus bergerak dengan pasti, tak ada yang tersisa darinya. Kulitnya juga berguna, begitu juga seratnya, menghasilkan karya yang layak dikedepankan. Belum lagi tempurungnya, membantu hadirnya aroma bakaran dan memanggang berbagai makanan yang menyehatkan. Batang kelapa juga berguna untuk menjadi jembatan, menyeberangkan orang dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Ya, kelapa bisa memobilisasi banyak kemungkinan yang tak terbatas. Bukan saja mencipta ruang bahkan menatanya dengan keteraturan yang luar biasa.
Daun kelapa juga tak ketinggalan berkarya nyata. Membentuk diri menjadi bungkus yang canggih. Ya canggih karena bukan hanya berdaya guna tapi juga mampu tampil indah. Pengantin baru tak ketinggalan meraup keuntungan dari kelapa, karena batang dan daun kelapa menyemarakkan pesta nikah mereka. Sementara, ketika kelapa sedang bertumbuh, sekalipun masih muda dan belum berbuah, jika ingin menjadikannya hiasan juga bisa. Kelapa bisa menjadi pohon terang di malam Natal. Lampu singgah di tubuhnya, kelapa selalu mampu memainkan perannya. Akhirnya hanya satu kalimat: kelapa memang serba guna mulai dari awal hingga akhirnya.
Pemimpin yang dibutuhkan, baik eksekutif, legislatif, yudikatif, bahkan lebih lagi, di keagamaan, adalah pemimpin berfalsafah kelapa. Pemimpin yang selalu tahu ke mana harus melangkah dengan benar. Tak pernah, karena memang tak boleh salah, maka dia harus orang yang mampu berhitung dengan jitu. Dia juga harus mampu bekerja dari bahan yang ada, dan bukan sekadar ahli membuat anggaran kerja. Secara umum, tanpa anggaran pekerjaan tak bisa dimulai. Namun bagi pemimpin berfalsafah kelapa dirinya adalah kapital terbesar. Dia tak menunggu dukungan dana, melainkan menghasilkan karya. Dukungan justru datang karena ketertarikan pada sang pemimpin yang berkarya. Dia mampu menggerakkan apa yang ada sehingga menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa. Pemimpin besar akan selalu mampu mengerakkan seluruh rakyat untuk menjadi tenaga yang besar.
Di republik kita ada kebanggaan para pemimpin yang aneh, yaitu selalu bangga kalau masih dipercaya mengutang. Utang tetap utang, sekalipun dipercaya, tetap saja target pemberi utang adalah meraup keuntungan. Dan celakanya, kita memakai utang justru untuk pesta yang tak bermanfaat. Dana pembangunan yang dikorup, pinjaman yang digelapkan atas nama bantuan yang dibagikan. Kebanyakan pemimpin hanya menciptakan utang, bukan kebanggaan. Kekayaan yang ada tak mampu dikelola sendiri, karena pemimpin hanya kepala, bukan kelapa yang berdaya guna. Dan kalaupun tampak hasil karya hanya monumen belaka, yang akan habis ditelan waktu, dan menelan biaya.
Pemimpin berfasalfah kelapa selalu ada di depan menjadi model, berani bertindak dan bertanggung jawab sekaligus. Dia tak pernah menyalahkan lawan yang tak sejalan dengan dia, apalagi alam yang tak tahu apa-apa. Dia tak terbiasa berdalih, karena di benaknya selalu ada usaha untuk mencari solusi. Dia malu jika gagal, dan mundur dengan kepala tertunduk. Bukan seperti kebanyakan orang yang kemudian mengerahkan massa dan marah-marah, tapi tak berani memarahi diri.
Pemimpin berfalsafah kelapa, pemimpin berdaya guna, pemimpin yang serba bisa bukan karena bisa semuanya, melainkan selalu bisa karena tidak pernah berhenti berusaha. Membaca diri, membangun diri, mencatat prestasi, dan puas karena bisa memberi bagi yang dipimpinnya. Dia bukan hanya bicara, mengarahkan tanpa tindakan, mengimbau tanpa ketegasan. Pemimpin berfalsafah kelapa hadir di sana, siap menjadi buah yang melezatkan, tetapi juga jembatan yang diinjak untuk menyelamatkan. Awas, dia juga bisa tegas dan tegar, berdiri gagah melawan tiupan angin.
Entah mengapa, semakin hari semakin banyak saja pemimpin munafik, yang hanya bisa bicara. Pemimpin yang berlagak suci padahal menyimpan sejuta dusta. Semoga masih ada nurani yang tersisa, dan yang terpanggil menjadi pemimpin yang berfalsafah kelapa, bukan cuma yang mau jadi kepala.
Para tokoh yang memproklamirkan diri sebagai lokomotif demokrasi dan hukum, ternyata tak konsisten dalam bersikap. Tak jelas yang mana musuhnya, yang pasti yang tak sejalan dengannya. Sehingga tak jelas isu apa sebetulnya yang penting dalam membangun demokrasi, karena pribadi yang menjadi ukuran. Sementara seliweran oportunis terasa semakin panjang. Penjaja diri, hingga manipulasi diri, bermunculan melengkapi kemunafikan yang ada.
Lalu, bagaimana di arena agama? Ternyata setali tiga uang. Agama yang seharusnya menjadi pusat periksa diri agar tetap suci, ternyata penuh virus yang mematikan. Para pemimpin agama bukannya beragama (beribadah), melainkan memanfaatkan agama (institusi) untuk kepentingan diri. Meraup keuntungan yang tak kecil, dari jual beli suara hingga jual beli tenaga alias kekuatan. Belum lagi yang memutarbalikkan dukungan dana untuk orang susah, menjadi untuk mempersusah orang dengan mempersenang diri.
Di gereja, semarak meraup keuntungan dari persembahan sudah jadi cerita kesehariaan. Pemimpin agama tak lagi sungkan memasang tarif berkhotbah, bahkan lengkap dengan ketentuan fasilitas yang harus dilengkapi. Berkat datang dari dan milik Tuhan, tapi memanfaatkan nama Tuhan untuk mengeruk berkat dari umat adalah sebuah kejahatan. Ah, betapa suramnya masa depan kepemimpinan dalam berbagai aspek kehidupan. Kebanyakan pemimpin tak lagi memberi manfaat kehadiran dirinya, tetapi sebaliknya memanfaatkan orang yang dipimpinnya untuk keuntungannya. Pemimpin yang seharusnya menciptakan perubahan dari yang tak ada menjadi ada, justru sebaliknya menghabiskan apa yang ada. Yang seharusnya membuat benar yang tidak benar, malah menciptakan ketidakbenaran dalam tingkat yang menakutkan.
Pemimpin dan kegelapan semakin menyatu, dan hadir menggelisahkan diri. Kita butuh pemimpin yang berfalsafah kelapa, bukan sekadar pemimpin yang hanya mau jadi kepala. Pemimpin yang hanya mau jadi kepala selalu menutut tanpa memberi, mengatur tanpa menjadi motor, memproklamirkan diri sebagai yang hebat tetapi tidak rela melayani. Pemimpin kepala harus bisa menjadi pemimpin kelapa. Pemimpin berfalsafah kelapa selalu sadar nilai dan kemampuan diri. Pemimpin berfasalfah kelapa selalu memberi potensi diri dalam mengabdi. Tidak ada yang tersisa ketika dia memberi kepada yang yang dipimpinnya. Dengan segera dia akan mencipta perubahan nyata yang tidak terbantah.
Lihatlah kelapa dalam berkarya. Kelapa bertumbuh dan menghasilkan buah. Sebagai buah, kelapa tak hanya memberi rasa, tapi juga manfaat yang luar biasa. Kelapa bisa jadi buah yang banyak manfaat, tapi juga air kelapa yang menyegarkan. Kelapa bisa jadi santan yang melezatkan banyak aneka pilihan makanan. Dan, kelapa tak berhenti di sana, dia terus bergerak dengan pasti, tak ada yang tersisa darinya. Kulitnya juga berguna, begitu juga seratnya, menghasilkan karya yang layak dikedepankan. Belum lagi tempurungnya, membantu hadirnya aroma bakaran dan memanggang berbagai makanan yang menyehatkan. Batang kelapa juga berguna untuk menjadi jembatan, menyeberangkan orang dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Ya, kelapa bisa memobilisasi banyak kemungkinan yang tak terbatas. Bukan saja mencipta ruang bahkan menatanya dengan keteraturan yang luar biasa.
Daun kelapa juga tak ketinggalan berkarya nyata. Membentuk diri menjadi bungkus yang canggih. Ya canggih karena bukan hanya berdaya guna tapi juga mampu tampil indah. Pengantin baru tak ketinggalan meraup keuntungan dari kelapa, karena batang dan daun kelapa menyemarakkan pesta nikah mereka. Sementara, ketika kelapa sedang bertumbuh, sekalipun masih muda dan belum berbuah, jika ingin menjadikannya hiasan juga bisa. Kelapa bisa menjadi pohon terang di malam Natal. Lampu singgah di tubuhnya, kelapa selalu mampu memainkan perannya. Akhirnya hanya satu kalimat: kelapa memang serba guna mulai dari awal hingga akhirnya.
Pemimpin yang dibutuhkan, baik eksekutif, legislatif, yudikatif, bahkan lebih lagi, di keagamaan, adalah pemimpin berfalsafah kelapa. Pemimpin yang selalu tahu ke mana harus melangkah dengan benar. Tak pernah, karena memang tak boleh salah, maka dia harus orang yang mampu berhitung dengan jitu. Dia juga harus mampu bekerja dari bahan yang ada, dan bukan sekadar ahli membuat anggaran kerja. Secara umum, tanpa anggaran pekerjaan tak bisa dimulai. Namun bagi pemimpin berfalsafah kelapa dirinya adalah kapital terbesar. Dia tak menunggu dukungan dana, melainkan menghasilkan karya. Dukungan justru datang karena ketertarikan pada sang pemimpin yang berkarya. Dia mampu menggerakkan apa yang ada sehingga menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa. Pemimpin besar akan selalu mampu mengerakkan seluruh rakyat untuk menjadi tenaga yang besar.
Di republik kita ada kebanggaan para pemimpin yang aneh, yaitu selalu bangga kalau masih dipercaya mengutang. Utang tetap utang, sekalipun dipercaya, tetap saja target pemberi utang adalah meraup keuntungan. Dan celakanya, kita memakai utang justru untuk pesta yang tak bermanfaat. Dana pembangunan yang dikorup, pinjaman yang digelapkan atas nama bantuan yang dibagikan. Kebanyakan pemimpin hanya menciptakan utang, bukan kebanggaan. Kekayaan yang ada tak mampu dikelola sendiri, karena pemimpin hanya kepala, bukan kelapa yang berdaya guna. Dan kalaupun tampak hasil karya hanya monumen belaka, yang akan habis ditelan waktu, dan menelan biaya.
Pemimpin berfasalfah kelapa selalu ada di depan menjadi model, berani bertindak dan bertanggung jawab sekaligus. Dia tak pernah menyalahkan lawan yang tak sejalan dengan dia, apalagi alam yang tak tahu apa-apa. Dia tak terbiasa berdalih, karena di benaknya selalu ada usaha untuk mencari solusi. Dia malu jika gagal, dan mundur dengan kepala tertunduk. Bukan seperti kebanyakan orang yang kemudian mengerahkan massa dan marah-marah, tapi tak berani memarahi diri.
Pemimpin berfalsafah kelapa, pemimpin berdaya guna, pemimpin yang serba bisa bukan karena bisa semuanya, melainkan selalu bisa karena tidak pernah berhenti berusaha. Membaca diri, membangun diri, mencatat prestasi, dan puas karena bisa memberi bagi yang dipimpinnya. Dia bukan hanya bicara, mengarahkan tanpa tindakan, mengimbau tanpa ketegasan. Pemimpin berfalsafah kelapa hadir di sana, siap menjadi buah yang melezatkan, tetapi juga jembatan yang diinjak untuk menyelamatkan. Awas, dia juga bisa tegas dan tegar, berdiri gagah melawan tiupan angin.
Entah mengapa, semakin hari semakin banyak saja pemimpin munafik, yang hanya bisa bicara. Pemimpin yang berlagak suci padahal menyimpan sejuta dusta. Semoga masih ada nurani yang tersisa, dan yang terpanggil menjadi pemimpin yang berfalsafah kelapa, bukan cuma yang mau jadi kepala.

