GEREJA DAN SK BERMASALAH DUA MENTERI

02.24 bs 0 Comments

Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 Menteri yang menimbulkan banyak gonjang ganjing di lingkup umat beragama, merupakan produk bersama menteri agama dan menteri dalam negeri yang dikeluarkan tahun 1969. Banyak sudah ulasan teknis, politis, praktis, hingga aspek hukum di berbagai media, termasuk tabloid REFORMATA, yang mencoba mengangkatnya dari berbagai aspek tadi. SKB ini memiliki banyak “keunggulan aneh”.

Sebagai sebuah surat keputusan, SKB ini “terunggul dalam waktu” karena sudah berlaku 36 tahun sejak 1969. Kemudian “terunggul dalam jangkauan”, karena menjangkau seluruh umat beragama di Indonesia, yang memang semua beragama. Lalu “terunggul dalam kekuasaan” karena seakan tak tersentuh apalagi tercabut. Belum lagi “terunggul dalam kerancuan”, yang menimbulkan kerancunan dalam sudut pandang hukum, karena SKB ini dalam prakteknya, menempatkan diri melewati UUD 45 pasal 29, tentang kebebasan beragama, Pancasila, terutama sila pertama.

Padahal, SK hanyalah surat keputusan yang sangat terbatas ruang gerak dan waktunya. Apalagi, cuma SK menteri yang tidak pernah punya hak membuat produk perundang-undangan, yang memang merupakan kewenangan legislatif. Karena itu, tepat jika disebut SK(Bersama) sebagai SK(Bermasalah), karena memang senantiasa menimbulkan masalah, tanpa sekalipun memberikan keuntungan, apalagi kerukunan bersama.

Sekalipun dalam SKB tersebut tercantum kalimat “menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanan pengembangan dan ibadat agama oleh pemeluknya”, namun dalam prakteknya, SKB itu lebih sering dimanfaatkan “massa” untuk menimbulkan masalah dan menjadi “tontonan” aparat penegak hukum—yang katanya selalu terpanggil untuk menegakkan hukum. Entah apa agenda akhirnya, tapi yang pasti, tarik-menarik politis lebih dominan melatarbelakangi lahirnya SKB ini, yang dalam perjalanannya juga menjadi “alat bantu” para petualang politik maupun kekuatan tertentu dalam menciptakan atau mengalihkan isu-isu. Belum lagi lalu lintas uang keamanan jika situasi tidak aman, sungguh bisa menjadi bisnis yang mengiurkan. Ironisnya, dulu kita dijajah Belanda dengan politik devide et impera, kini berganti menjadi “kita saling menjajah antar-sesama bangsa”.

Nah, di sini gereja dituntut untuk jeli dan terlibat di kancah kacau, agar bisa menciptakan suasana teduh. Gereja perlu tampil lebih elegan dan bersatu tanpa terkurung dalam sekat-sekat denominasi. Tak juga terikat dalam angan membangun diri sendiri. Untuk elegannya, gereja perlu mengenal, menggali dan mengkritisi SKB itu sendiri, baik sejarah, keabsahannya dan implikasinya. SKB ini perlu menjadi bahan diskusi, bukan hanya bagi para petinggi gereja, melainkan seluruh umat.

Kelemahan kebanyakan gereja adalah tidak mengetahui dengan tepat isi SKB, dan kurang menyadari haknya dalam beragama dan ibadah sebagai anak bangsa yang dilindungi UUD. Kekurangtahuan ini menjadi embrio ketakutan yang berlebihan. Hukum harus ditegakkan, umat harus berani demi kebenaran, bukan pembenaran. Dari segi kebersamaan, gereja sangat perlu membangun jejaring harmonis, yang dulu terasa dalam gerakan oikumene yang perlu mendapat ruang besar dari berbagai gereja, dengan membuang virus curiga.read more...

Ditulis untuk Tabloid Reformata/www.reformata.com