Lahir Kembali, Dikaitkan dengan Surga
Pdt. Bigman Sirait
SEORANG Farisi bernama Nikodemus, pemimpin agama Yahudi, suatu malam datang kepada Yesus dan berkata, “Rabi, kami tahu, bahwa Engkau datang sebagai guru yang diutus Allah sebab tidak ada seorang pun yang dapat mengadakan tanda-tanda yang Engkau adakan itu jika Allah tidak menyertainya...” (Yoh 3: 1-15). Dalam pertemuan itu terjadilah dialog tentang makna “dilahirkan kembali”.
Farisi dikenal hebat dalam ritual keagamaan, khususnya agama Yahudi. Farisi percaya akan adanya kebangkitan. Berbeda dengan Saduki yang tidak percaya atau menolak konsep kebangkitan. Orang-orang Farisi sangat menjaga diri di dalam hal ritual. Dalam satu minggu mereka rutin berpuasa dua kali. Maka tidak heran jika orang Farisi menganggap diri paling hebat, unggul dan paling berhak ke surga. Orang Farisi sangat arogan dalam kerohanian, sehingga mereka seringkali ditampilkan dalam cerita negatif.
Tetapi kali ini seorang Farisi menemui Yesus dan mau belajar tentang kebenaran. Ini menarik karena Nikodemus juga anggota Sanhedrin, semacam lembaga keagamaan. Dia orang penting, kata-katanya didengar. Waktu para imam besar rapat untuk menyalibkan Yesus, Nikodemus salah satu tokoh yang mempertanyakan kesalahan apa yang dilakukan Yesus? Dia pun dikecam para imam besar, dikucilkan. Ada konsekuensi yang harus ditanggung Nikodemus ketika percaya dan mengikut Yesus. Dia kehilangan posisi, bukan mendapatkan posisi. Ini suatu pelajaran bahwa ikut Yesus belum tentu langsung dapat posisi, bisa jadi malah kehilangan posisi. Tetapi, ikut Yesus akan segera menunjukkan kualitas hidup yang sangat luar biasa.
Nikodemus berkata kepada Yesus. “Rabbi, kami tahu Engkau datang sebagai guru yang diutus Allah, sebab tidak ada seorang pun yang dapat melakukan tanda-tanda (mukjizat) yang Engkau lakukan itu jikalau bukan Allah yang menyertai”. Yang menjadi pertanyaan, dari semua imam apakah hanya Nikodemus yang bisa melihat tanda-tanda itu? Atau bisa saja memang semua imam telah melihat tanda-tanda yang dilakukan Yesus, tetapi semua mengeraskan hati. Wajar, sebab Yesus mengkritik mereka secara luar biasa. Yesus menjungkirbalikkan, membuat pelayanan mereka tidak bernilai. Mereka tidak rela dikoreksi Yesus, karena merasa posisi mereka sudah sangat tinggi. Dan mereka merasa tidak akan aman kalau Yesus terus-terusan mengkritik. Nikodemus mengambil sikap berbeda. Bagi dia yang penting adalah, apa yang dilakukan Yesus itu suatu tanda yang bisa dilihatnya bahwa Allah menyertai Dia.
Ini juga menjadi realita di dalam hidup beragama kita. Seringkali tanpa sadar, kegiatan keagamaan, seperti ibadah, justru bisa membuat kita makin jauh dari Tuhan kalau itu tidak disertai kesadaran akan anugerah Tuhan. Banyak orang mengeluh, makin dekat Tuhan kok makin banyak masalah. Padahal sebetulnya itu sebuah kehormatan, semakin dekat dengan Tuhan kita makin layak untuk memikul salib-Nya. Seharusnya kita mensyukuri itu sebagai suatu proses pemurnian dalam pemahaman keimanan kita untuk makin dekat dengan Dia.
Tetapi kali ini seorang Farisi menemui Yesus dan mau belajar tentang kebenaran. Ini menarik karena Nikodemus juga anggota Sanhedrin, semacam lembaga keagamaan. Dia orang penting, kata-katanya didengar. Waktu para imam besar rapat untuk menyalibkan Yesus, Nikodemus salah satu tokoh yang mempertanyakan kesalahan apa yang dilakukan Yesus? Dia pun dikecam para imam besar, dikucilkan. Ada konsekuensi yang harus ditanggung Nikodemus ketika percaya dan mengikut Yesus. Dia kehilangan posisi, bukan mendapatkan posisi. Ini suatu pelajaran bahwa ikut Yesus belum tentu langsung dapat posisi, bisa jadi malah kehilangan posisi. Tetapi, ikut Yesus akan segera menunjukkan kualitas hidup yang sangat luar biasa.
Nikodemus berkata kepada Yesus. “Rabbi, kami tahu Engkau datang sebagai guru yang diutus Allah, sebab tidak ada seorang pun yang dapat melakukan tanda-tanda (mukjizat) yang Engkau lakukan itu jikalau bukan Allah yang menyertai”. Yang menjadi pertanyaan, dari semua imam apakah hanya Nikodemus yang bisa melihat tanda-tanda itu? Atau bisa saja memang semua imam telah melihat tanda-tanda yang dilakukan Yesus, tetapi semua mengeraskan hati. Wajar, sebab Yesus mengkritik mereka secara luar biasa. Yesus menjungkirbalikkan, membuat pelayanan mereka tidak bernilai. Mereka tidak rela dikoreksi Yesus, karena merasa posisi mereka sudah sangat tinggi. Dan mereka merasa tidak akan aman kalau Yesus terus-terusan mengkritik. Nikodemus mengambil sikap berbeda. Bagi dia yang penting adalah, apa yang dilakukan Yesus itu suatu tanda yang bisa dilihatnya bahwa Allah menyertai Dia.
Ini juga menjadi realita di dalam hidup beragama kita. Seringkali tanpa sadar, kegiatan keagamaan, seperti ibadah, justru bisa membuat kita makin jauh dari Tuhan kalau itu tidak disertai kesadaran akan anugerah Tuhan. Banyak orang mengeluh, makin dekat Tuhan kok makin banyak masalah. Padahal sebetulnya itu sebuah kehormatan, semakin dekat dengan Tuhan kita makin layak untuk memikul salib-Nya. Seharusnya kita mensyukuri itu sebagai suatu proses pemurnian dalam pemahaman keimanan kita untuk makin dekat dengan Dia.