Dari Iman kepada Iman

16.02 bs 0 Comments

PAULUS dalam Roma 1: 17 mengatakan, “Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti tertulis: ‘Orang benar akan hidup oleh iman’”. Apa yang dikatakan Paulus dilatarbelakangi oleh Habakuk 2: 4, Sesungguhnya orang yang membusungkan dada, tidak lurus hatinya, tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya.

Dengan segera kita akan menangkap kekayaan dan gema kemenangan yang sangat nyata, yang dilahirkan oleh iman. Iman yang benar memang sangat luar biasa. Di kehidupan, di bumi ini, di luar lingkar iman, manusia bertanding dengan kekuatan diri. Membangun harapan, mulai kebutuhan sandang, pangan, papan hingga kepuasan diri. Membangun usaha menggapai nilai tinggi dalam mencipta rasa aman, baik untuk diri, maupun dalam kebersamaan. Berlatih hidup berbagi, menoreh harga diri, hingga pengaktualisasian diri yang cerdas, terus dibangun tak kenal henti. Sayangnya, di tengah kawah keberhasilannya, manusia justru menjadi jumawa, merasa mampu sendiri dan segera membusungkan dada. Manusia tak pernah mampu melepas diri dari kesombongan, sekalipun sering berhasil membungkusnya dengan penampilan dan aksesoris rendah hati yang semu.

Ya, manusia tak pernah mampu lurus hati dalam menilai diri. Paling tidak, tidak mampu menyadari keterbatasan diri, butuh kasih ilahi. Di titik ini, bahkan terjadi manipulasi, agama jadi topeng menyembunyikan diri, seakan tunduk pada Tuhan, namun dalam kenyataan, memperalat keber-Tuhan-annya untuk pengesahan seluruh tindakan salahnya. Ironis, sebuah perjalanan yang tragis. Dalam Perjanjian Lama (PL) lukisan kegagalan hidup (kualitas), di dalam keberhasilan materi (kuantitas), tampak nyata, khususnya di seluruh kitab Pengkhotbah. Tanpa Tuhan, tanpa iman, semuanya hanya sementara, bernilai sesaat, namun segera lenyap, ditelan oleh keperkasaan waktu.

Nah, di tengah konstelasi hidup seperti itulah pengharapan sejati dikumandangkan. Bukan pada kekuatan diri, atau pengembangan kemampuan, melainkan keberimanan kepada Tuhan. Iman yang dianugerahkan Tuhan kepada orang yang diperkenannya, mengawali perjalanannya dari keberdosaan, keterhilangan, menuju titik pertemuan dengan Tuhan. Iman telah menolong manusia mampu mengenali diri oleh kemurahan Roh Tuhan, ya, mengenali diri yang berdosa, diri yang busuk. Manusia bangkit dari kematian rohaninya. Menyadari diri, menyandarkan diri, dan mempercayakan segenap diri kepada Allah, menjadi warna khas orang beriman. Hidupnya semakin tenang, penuh sukacita dan damai sejahtera, karena tak berpusat diri tapi pemeliharaan ilahi yang mahakuasa dan melintasi aneka batas, bahkan waktu. Sebuah pengalaman baru yang sangat luar biasa.

Iman mewariskan kekayaan yang abadi, dalam hubungan yang pribadi dengan Allah yang maha tinggi. Kehangatan hubungan semakin menjadi, ketika Injil menjadi surat yang paling disukai orang beriman. Kebenaran Injil terus memperbaharui diri, dan memberi inspirasi, arti hidup sebagai manusia ciptaan yang baru, yang dilahirkan baru oleh kuasa Roh, bukan semangat, atau sekadar pencerahan kemanusiaan. Iman tak berhenti berkarya, Iman terus menorehkan aneka karya dalam hari-hari perjalanan kehidupan manusia. Iman bagaikan benih yang telah menjelma menjadi pohon, berbunga dan berbuah, melahirkan tindakan nyata orang percaya. Iman kini memproduksi perbuatan baik dan benar, mewarnai perbuatan orang percaya.

Tak terlintas di benak orang beriman, melakukan kebaikan untuk sebuah pujian, apalagi harapan diselamatkan. Keselamatan telah diperoleh di muka, dan perbuatan adalah ungkapan syukur yang tak terbilang. Jadi, sudah pasti, tidak ada transaksi di sini. Pertandingan nilai terus dikobarkan. Orang percaya tak kenal henti menyuarakan kebenaran yang menjadi sumber kehidupannya. Ketika gelombang kehidupan menerpa dalam wajah duka dan tumpahan air mata, orang beriman tak pernah kehilangan pegangan. Mereka tegar berdiri, air mata boleh terurai tapi harap tak bernah berhenti. Iman terus menghidupkan api pengharapan yang tak pernah padam oleh air mata, bahkan sebaliknya menghapus air mata dan menggantikannya dengan suka cita yang tak terbilang.

Ya, di tengah kesulitan ternyata iman menolong orang percaya menemukan nilai baru dalam menapaki kehidupan ini. Nilai paradoks, di mana ada suka di kala duka melanda, ya sebuah terobosan dalam keberimanan. Perjalanan iman tak berhenti hanya pada soal penghiburan di dalam kesusahan, bahkan berlanjut dalam panggilan penderitaan karena kebenaran. Orang beriman dipanggil untuk menyangkal diri dan memikul salibnya. Dalam penyangkalan diri, diri tak lagi yang terpenting melainkan kehendak Allah di dalam seluruh aspek diri. Kehendak Allah yang menguasai diri, yang memampukan orang percaya menjalani panggilan hidupnya sebagai saksi kebenaran. Kobaran api Injil mendorong orang percaya untuk terus mengabarkan Injil di mana dan kapan saja dalam bijaksana surga, bahkan dalam penganiayaan sekalipun. Dari iman kepada iman menjadi pengharapan yang sangat kokoh, dan menghidupkan. Untuk ini sangat pas ucap Yesus dalam khotbah di bukit, yaitu sebuah kebahagiaan di balik berbagai penderitaan dan aniaya karena kebenaran. Bahkan, dengan iman yang tangguh Paulus berkata, “Hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” (Fil 1: 21). Bagi Paulus hidup dan mati hanyalah sebuah bentang pendek dalam kepastiaan yang sangat jelas. Batapa nyatanya kemenangan orang percaya, kini dan nanti, di sini, di kesementaraan, dan di sana di kekekalan. Iman menerobos tembok fenomena yang bernama masalah rumah tangga, sakit-penyakit, kemiskinan, dan aneka persoalan hidup.

Iman seharusnya membuat orang percaya sangat perkasa di kehidupan ini, namun sayangnya hal ini sulit ditemukan dalam kehidupan keseharian umat. Orang Kristen masa kini tak ubahnya seperti “pengemis iman” ketimbang “pelaku iman”. Pengemis yang hanya merengek soal kekayaan, kesembuhan bahkan menggila meminta kekuasaan, dengan alasan murahan: “Bukankah kita ini anak raja yang harus memiliki segalanya?” Ironisnya, tak pendek, bahkan semakin panjang pengkhotbah sensasi, hingga yang nekat mengaku nabi, rasul, yang haus pengkultusan diri. Mereka menawarkan semua keinginan daging manusiawi yaitu kekayaan, kesembuhan, kekuasaan, demi kenikmatan dan mulusnya perjalanan kehidupan. Mereka mengabaikan kebenaran, sangkal diri, pikul salib dalam mengikut Yesus. Mengabaikan kebenaran bahwa orang percaya lebih dari pemenang, yang mampu menanggung bukan saja kemiskinan, kesakitan bahkan aniaya.

Kuasa bagi orang percaya adalah kemampuan tak terbatas dalam melakukan kebenaran, bukan untuk menciptkan kenikmatan diri sebagaimana semangat masa kini. Kaya atau miskin, sakit atau sehat, seharusnya bukanlah sebuah persoalan, karena yang terpenting adalah iman kepada Yesus. Ingat, soal hidup dan mati saja bukan masalah bagi Paulus, apalagi soal sakit atau sembuh. Paulus harus menanggung duri yang menyakitkan sepanjang hayatnya, Timotius dengan ganguan pencernaannya, bahkan Yesus sendiri seperti pecundang yang tak berkuasa ketika menuju salib. Tapi kemenangan sejati justru ada pada mereka. Orang benar akan hidup dari iman kepada iman, dan hidup adalah sebuah perjalan panjang dalam gema kemenangan. Tak takut miskin, tapi takut mencuri. Tak takut sakit, tapi takut Tuhan. Amsal 30:7-9, berkata “Ya Tuhan jangan berikan apa yang kuinginkan, melainkan apa yang Kausediakan yang menjadi bagianku”. Juga doa Bapa kami, “berilah kami makanan kami yang secukupnya”.

Atau memang Anda suka memperalat dan memutar balik ayat suci, Alkitab, demi memenuhi keinginan diri? Entahlah, tapi semoga tidak. Akhirnya selamat hidup dari iman kepada iman.q