IMAN YANG SEJATI MENEMBUS BATAS PANDANG
KISAH Sadrakh, Mesakh, Abednego, dalam kitab Daniel, sungguh telah menjadi demonstrasi iman yang sejati. Sangat fantastis, bukan karena apa yang terjadi kemudian, melainkan sikap iman di permulaan. Kisah ini berawal dari sikap tegas trio beriman yang menolak menyembah patung emas buatan Raja Nebukadnezar. Padahal, jelas dan tegas pula konsekwensi hukuman bagi mereka yang menolak menyembah patung emas itu. Tak tangung-tangung, siapa pun yang membangkang, maka perapian yang menyala-nyala menanti untuk membakar pembangkang itu hidup-hidup. Sebuah jalan mati yang mengerikan, dan tak mungkin ada yang bisa melepaskan diri dari sana. Kematian sudah pasti menanti dengan aroma kekejian yang menakutkan. Di situasi terjepit, apalagi dalam status orang buangan di negeri orang, tak ada pilihan yang lebih baik bagi Sadrakh, Mesakh, Abednego, kecuali menaati titah raja yang sedang jaya-jayanya dan sangat luas daerah kekuasaannya. Namun bagi trio beriman ini ternyata kematian bukan persoalan, melainkan ketaatan, inilah yang harus diutamakan.
Ya, ketaatan tanpa alasan, tanpa batasan, ketaatan yang mutlak kepada kehendak Allah, yang berkehendak supaya umat-Nya tak jadi penyembah berhala. Maka demi ketaatan kepada Allah, mereka tak merasa sayang jika harus kehilangan nyawa sekalipun. Tak merasa ngeri pada perapian yang menakutkan. Dengan lantang, tak terbersit rasa takut sedikit pun, Sadrakh, Mesakh, Abednoego, berkata pada raja yang menggugat mereka: “Tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada tuanku dalam hal ini. Jika Allah yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka IA akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu ya raja, tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu” (Daniel 3:16-18, band 2 Korintus 12:8-9).
Sebuah jawaban yang bukan saja berani, tapi penuh kepastian akan ke mana mereka dalam kematiannya. Jika Allah mau, mereka percaya akan dilepaskan dari perapian itu, namun jika mereka mati terbakar, itu pun kehendak Ilahi yang bisa mereka mengerti. Tak ada yang salah, hidup atau mati, Allah tetap Allah, DIA tahu yang terbaik bagi umat-Nya, melebihi pengetahuan umat atas dirinya sendiri. Sungguh luar biasa kekuatan iman yang sejati, yang tak terbatas hanya pada pandangan mata semata, tapi bisa melihat yang tak terlihat. Mungkin Anda punya iman yang besar akan lolos dari api, namun ada yang lebih besar, yaitu iman yang sejati, yang sekalipun tidak lolos dari api namun tetap percaya pada Allah.
Sadrakh, Mesakh, Abednego, telah mengajarkan kepada orang percaya makna iman yang sejati. Mereka tak perduli pada diri, melainkan Allah. Mereka tak memikirkan kehendak diri, melainkan kehendak Allah. Ini menjadi sebuah demonstrasi yang luar biasa. Kehebatan kisah ini tidak terletak pada lolosnya mereka dari perapian yang kemudian dipanaskan hingga tingkat terhebat, bahkan memakan korban algojo pelaksana hukuman bakar. Kehebatan kisah ini justru terletak pada sikap iman yang sejati, yang tetap percaya bahwa Allah itu Allah, apa pun hasilnya, sekalipun dibinasakan amukan api. Mereka mengajarkan makna beriman, bukanlah memaksakan kehendak atas nama Allah yang mahakuasa. Bukan juga bersembunyi di balik kata “Allah pasti menolong”, namun sejatinya takut pada apa yang akan dihadapi. Bukan juga ucapan-ucapan yang tampaknya luar biasa, namun ujungnya hanya kepuasan diri semata. Iman yang sejati tak peduli pada apa yang akan terjadi pada diri, melainkan selalu peduli apa yang menjadi kehendak Ilahi.
Di era modern ini, iman model Sadrakh, Mesakh, Abednego pasti tidak disukai. Orang masa kini pada umumnya tak akan membicarakan apa yang mereka katakan, bahwa Allah tetap Allah yang berkuasa, apa pun yang akan terjadi. Namun semua orang masa kini akan berdiskusi pada apa yang kemudian terjadi, yakni mereka lolos dari api. Orang masa kini akan mengatakan bahwa orang yang beriman pasti akan lolos dari api. Tidak akan mati oleh api. Pokoknya apa yang membuat puas diri, membanggakan diri, itulah iman sejati, ungkap orang masa kini. Sekalipun ajaran Alkitab jelas dan tegas, bahwa iman sejati adalah keberanian untuk menyangkal diri, memilkul salib, dan mengikut Yesus dengan percaya penuh pada ketetapan Allah, tetap saja dimanipulasi.
Sadrakh, Mesakh, Abednego, hidup di era Perjanjian Lama (PL), namun kualitas iman mereka sangat dahsyat, terlebih lagi Anda dan saya yang hidup di era Perjanjian Baru (PB). Era di mana orang percaya mewarisi kekayaan iman atas pengorbanan Yesus di kayu salib. Karena itu sungguh ironis, jika sebagai pewaris dan pemegang kewarganegaraan surga kita kalah dalam beriman dari Sadrakh, Mesakh dan Abednego. Oleh karena itu, fenomena beriman masa kini, yang dilatarbelakangi oleh sugesti yang berpusat pada kehendak diri harus direformasi. Umat harus belajar menemukan kesejatian iman di tengah gelombang arus jaman yang terus-menerus menggerogoti nilai-nilai tinggi iman yang sejati.
Ungkapan “jadilah seperti imanmu”, harus dipahami dalam konteks yang tepat, yaitu, iman yang sesuai kehendak Tuhan, bukan iman yang sesuai kehendak diri. Ini seringkali dimanipulasi, sehingga iman Kristen tampak jadi murahan. Ingat, iman yang sejati adalah beriman dengan mempercayakan diri sepenuhnya pada pemeliharaan Tuhan, dan percaya apa pun yang dilakukan Tuhan pasti yang terbaik buat umat-Nya. Namun awas, jangan dimanipulasi, bahwa yang terbaik itu adalah apa yang kita inginkan, atau apa yang kita anggap baik. Tidak tentu!
Andaikata, Sadrakh dan kawan-kawan mati, itu pasti tidak baik menurut orang kebanyakan di masa kini. Alasan mereka sederhana dan murahan, yaitu, jika mati pasti Tuhan dipermalukan. Tapi sebaliknya, dengan tetap hidup, tidak bisa dilahap api, itu berarti Tuhan dipermuliakan. Sebuah kesalahpahaman yang menyedihkan tentang iman yang sejati. Jangan lupa, Yesus mati di kayu salib, bukan karena DIA kurang beriman, dan juga bukan Allah tidak dipermuliakan, bahkan sebaliknya. Begitu juga para rasul, yang dengan gigih memberitakan Injil, dan harus mati syahid, apakah itu berarti Allah tidak dipermuliakan? Ingat Stephanus yang bahkan mati dirajam batu, sangat mengerikan dan sekaligus menyedihkan. Tapi juga ingat, dia tak berkeluh kesah, bahkan dengan tenang menanti datangnya kematian itu. Ingat janda miskin, yang memberikan yang terbaik dari hidupnya, namun tetap saja hidup miskin. Tak ada catatan si janda miskin itu menjadi kaya, dan juga tidak ada permintaannya agar menjadi kaya, karena si janda sadar dia sudah kaya sebagai orang yang percaya Allah.
Berbeda dengan kebanyakan orang Kristen masa kini, yang selalu berharap kembalian dari Tuhan atas persembahan mereka. Sangat ironis, karena ini justru menggambarkan rasa kurang percaya bahwa Tuhan pasti setia dalam pemeliharaannya, dan apa yang kita miliki saat ini semuanya berasal dari DIA. Jadi, iman sejati tak terbentur pada batas-batas fenomena pandangan mata, juga tidak realita seperti kemiskinan, sakit penyakit, bahkan kematian sekalipun. Iman yang sejati tetap memuji Tuhan, apa pun yang terjadi (2 Tesalonika 5:16-22). Allah itu tetap Allah, sekalipun kita banyak masalah. Betapa luar biasanya jika Anda memiliki iman yang sejati, bukan sekadar “iman yang besar”. Jadilah hamba Allah, bukan hamba diri atas nama Allah. Sukailah apa yang disukai Allah, bukan sekadar kesukaan diri yang dimanipulasi. Selamat menemukan iman yang sejati, dengan belajar dan menemukan kesejatian Firman Tuhan, bukan sekadar apa kata orang.
Ya, ketaatan tanpa alasan, tanpa batasan, ketaatan yang mutlak kepada kehendak Allah, yang berkehendak supaya umat-Nya tak jadi penyembah berhala. Maka demi ketaatan kepada Allah, mereka tak merasa sayang jika harus kehilangan nyawa sekalipun. Tak merasa ngeri pada perapian yang menakutkan. Dengan lantang, tak terbersit rasa takut sedikit pun, Sadrakh, Mesakh, Abednoego, berkata pada raja yang menggugat mereka: “Tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada tuanku dalam hal ini. Jika Allah yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka IA akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu ya raja, tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu” (Daniel 3:16-18, band 2 Korintus 12:8-9).
Sebuah jawaban yang bukan saja berani, tapi penuh kepastian akan ke mana mereka dalam kematiannya. Jika Allah mau, mereka percaya akan dilepaskan dari perapian itu, namun jika mereka mati terbakar, itu pun kehendak Ilahi yang bisa mereka mengerti. Tak ada yang salah, hidup atau mati, Allah tetap Allah, DIA tahu yang terbaik bagi umat-Nya, melebihi pengetahuan umat atas dirinya sendiri. Sungguh luar biasa kekuatan iman yang sejati, yang tak terbatas hanya pada pandangan mata semata, tapi bisa melihat yang tak terlihat. Mungkin Anda punya iman yang besar akan lolos dari api, namun ada yang lebih besar, yaitu iman yang sejati, yang sekalipun tidak lolos dari api namun tetap percaya pada Allah.
Sadrakh, Mesakh, Abednego, telah mengajarkan kepada orang percaya makna iman yang sejati. Mereka tak perduli pada diri, melainkan Allah. Mereka tak memikirkan kehendak diri, melainkan kehendak Allah. Ini menjadi sebuah demonstrasi yang luar biasa. Kehebatan kisah ini tidak terletak pada lolosnya mereka dari perapian yang kemudian dipanaskan hingga tingkat terhebat, bahkan memakan korban algojo pelaksana hukuman bakar. Kehebatan kisah ini justru terletak pada sikap iman yang sejati, yang tetap percaya bahwa Allah itu Allah, apa pun hasilnya, sekalipun dibinasakan amukan api. Mereka mengajarkan makna beriman, bukanlah memaksakan kehendak atas nama Allah yang mahakuasa. Bukan juga bersembunyi di balik kata “Allah pasti menolong”, namun sejatinya takut pada apa yang akan dihadapi. Bukan juga ucapan-ucapan yang tampaknya luar biasa, namun ujungnya hanya kepuasan diri semata. Iman yang sejati tak peduli pada apa yang akan terjadi pada diri, melainkan selalu peduli apa yang menjadi kehendak Ilahi.
Di era modern ini, iman model Sadrakh, Mesakh, Abednego pasti tidak disukai. Orang masa kini pada umumnya tak akan membicarakan apa yang mereka katakan, bahwa Allah tetap Allah yang berkuasa, apa pun yang akan terjadi. Namun semua orang masa kini akan berdiskusi pada apa yang kemudian terjadi, yakni mereka lolos dari api. Orang masa kini akan mengatakan bahwa orang yang beriman pasti akan lolos dari api. Tidak akan mati oleh api. Pokoknya apa yang membuat puas diri, membanggakan diri, itulah iman sejati, ungkap orang masa kini. Sekalipun ajaran Alkitab jelas dan tegas, bahwa iman sejati adalah keberanian untuk menyangkal diri, memilkul salib, dan mengikut Yesus dengan percaya penuh pada ketetapan Allah, tetap saja dimanipulasi.
Sadrakh, Mesakh, Abednego, hidup di era Perjanjian Lama (PL), namun kualitas iman mereka sangat dahsyat, terlebih lagi Anda dan saya yang hidup di era Perjanjian Baru (PB). Era di mana orang percaya mewarisi kekayaan iman atas pengorbanan Yesus di kayu salib. Karena itu sungguh ironis, jika sebagai pewaris dan pemegang kewarganegaraan surga kita kalah dalam beriman dari Sadrakh, Mesakh dan Abednego. Oleh karena itu, fenomena beriman masa kini, yang dilatarbelakangi oleh sugesti yang berpusat pada kehendak diri harus direformasi. Umat harus belajar menemukan kesejatian iman di tengah gelombang arus jaman yang terus-menerus menggerogoti nilai-nilai tinggi iman yang sejati.
Ungkapan “jadilah seperti imanmu”, harus dipahami dalam konteks yang tepat, yaitu, iman yang sesuai kehendak Tuhan, bukan iman yang sesuai kehendak diri. Ini seringkali dimanipulasi, sehingga iman Kristen tampak jadi murahan. Ingat, iman yang sejati adalah beriman dengan mempercayakan diri sepenuhnya pada pemeliharaan Tuhan, dan percaya apa pun yang dilakukan Tuhan pasti yang terbaik buat umat-Nya. Namun awas, jangan dimanipulasi, bahwa yang terbaik itu adalah apa yang kita inginkan, atau apa yang kita anggap baik. Tidak tentu!
Andaikata, Sadrakh dan kawan-kawan mati, itu pasti tidak baik menurut orang kebanyakan di masa kini. Alasan mereka sederhana dan murahan, yaitu, jika mati pasti Tuhan dipermalukan. Tapi sebaliknya, dengan tetap hidup, tidak bisa dilahap api, itu berarti Tuhan dipermuliakan. Sebuah kesalahpahaman yang menyedihkan tentang iman yang sejati. Jangan lupa, Yesus mati di kayu salib, bukan karena DIA kurang beriman, dan juga bukan Allah tidak dipermuliakan, bahkan sebaliknya. Begitu juga para rasul, yang dengan gigih memberitakan Injil, dan harus mati syahid, apakah itu berarti Allah tidak dipermuliakan? Ingat Stephanus yang bahkan mati dirajam batu, sangat mengerikan dan sekaligus menyedihkan. Tapi juga ingat, dia tak berkeluh kesah, bahkan dengan tenang menanti datangnya kematian itu. Ingat janda miskin, yang memberikan yang terbaik dari hidupnya, namun tetap saja hidup miskin. Tak ada catatan si janda miskin itu menjadi kaya, dan juga tidak ada permintaannya agar menjadi kaya, karena si janda sadar dia sudah kaya sebagai orang yang percaya Allah.
Berbeda dengan kebanyakan orang Kristen masa kini, yang selalu berharap kembalian dari Tuhan atas persembahan mereka. Sangat ironis, karena ini justru menggambarkan rasa kurang percaya bahwa Tuhan pasti setia dalam pemeliharaannya, dan apa yang kita miliki saat ini semuanya berasal dari DIA. Jadi, iman sejati tak terbentur pada batas-batas fenomena pandangan mata, juga tidak realita seperti kemiskinan, sakit penyakit, bahkan kematian sekalipun. Iman yang sejati tetap memuji Tuhan, apa pun yang terjadi (2 Tesalonika 5:16-22). Allah itu tetap Allah, sekalipun kita banyak masalah. Betapa luar biasanya jika Anda memiliki iman yang sejati, bukan sekadar “iman yang besar”. Jadilah hamba Allah, bukan hamba diri atas nama Allah. Sukailah apa yang disukai Allah, bukan sekadar kesukaan diri yang dimanipulasi. Selamat menemukan iman yang sejati, dengan belajar dan menemukan kesejatian Firman Tuhan, bukan sekadar apa kata orang.