TERSESAT DI RUMAH BAPA

16.08 bs 0 Comments

KISAH anak yang hilang dalam Injil Lukas 15:11-32, pasti menjadi salah satu kisah yang terkenal dan dikenal oleh hampir semua orang Kristen. Kisah ini layak populer, karena dipopulerkan oleh banyak pengkhotbah dalam konteks pertobatan. Sementara pertobatan itu sendiri menjadi isu penting dalam kekristenan. Kristen tanpa pertobatan sungguh tak bermakna, atau lebih tepat lagi, disebut sia-sia. Jadi, pertobatan sebagai inti iman Kristen amat sangat penting.

Nah, kisah anak yang hilang sebagai wujud sebuah pertobatan memang sangat dalam, dan ditampilkan dalam keunikan dari berbagai segi. Di sana kita bisa melihat si anak bungsu yang sangat tak sopan, yang menuntut warisan di kala ayah masih hidup. Gegap gempita gaya hidup anak muda yang wah, penuh pesta, mewarnai perjalanan hidupnya. Hingga akhirnya, nikmat hidup tak lagi berpihak padanya. Kepahitan hidup mulai mengisi hari-harinya, air mata tak lagi berguna, sementara teman tampak aslinya. Ya, keaslian hidup yang penuh kepalsuaan, itulah yang dipelajarinya. Sementara kisah ayah yang menanti penuh kasih sayang, sangat menyentuh hati. Terasa begitu kuat mengharu biru rasa, sangat luar biasa. Pelukan hangat tetap saja tersedia bagi si anak celaka. Ya, di sana tak ada batas sabar, tak ada dendam, tak ada kekecewaan, yang ada hanyalah pengampunan, dan untaian kasih sayang. Sangat dramatis, namun dalam kebenaran yang tidak terbantahkan. Bukan sebuah drama cengeng, melainkan kehidupan yang penuh luapan kebahagiaan dalam pelukan kehangatan kasih.

Namun tulisan ini tak hendak menggali kedalaman bagian ini, melainkan kisah si anak sulung. Si anak sulung yang tak menghilang dari rumah, tapi ternyata menghilang dari pelukan sang ayah. Si anak sulung dilukiskan dengan luapan kemarahan karena pulangnya sang adik. Tak ada rasa gembira pada dirinya, atas pesta penyambutan untuk adiknya yang diadakan sang ayah. Dia mengklaim diri sebagai yang terus bersama ayahnya, namun ternyata tak mampu merasakan apa yang dirasakan sang ayah. Dia merasa tak pernah mendapatkan apa pun dari harta ayahnya, padahal semua kepunyaan ayahnya adalah miliknya. Dia merasa seperti tak dipedulikan oleh sang ayah, padahal dia yang justru menggugat ayahnya. Dia merasa terpojok, padahal dia sedang memojokkan ayahnya. Dia berduka, dalam suka cita ayahnya. Dia hanya merasa bahagia ketika menjadi satu-satunya anak yang ada di rumah, sehingga merasa sangat terganggu ketika sang adik kembali. Dia bisa merasa bahagia, justru dalam kedukaan sang ayah menanti si anak hilang yang adalah adiknya sendiri.

Ironis, itulah kata tepatnya, melukiskan nuansa hati si anak sulung. Dengan segera kita bisa menangkap arah cerita Tuhan Yesus ini. Kisah ini terasa kental ditujukan kepada orang-orang Farisi, yang bersungut-sungut karena Yesus menerima dan makan bersama orang-orang berdosa (Lukas 15:1-2). Dan Yesus menjawab gerutu mereka dengan perumpamaan (ay 3). Si anak sulung sangat identik dengan orang-orang Farisi yang selalu merasa suci, dan lebih baik dari yang lainnya. Dengan enteng mereka menghakimi orang lain, dan saat bersamaan dengan enteng pula mereka memuji diri. Si anak sulung merepresentasikan posisi dan ketokohan orang Farisi dan ahli Taurat, yang juga sangat ahli menggugat, dan memutar balik kebenaran.

Lihat saja kepongahan mereka ketika berdoa. Menghadap Allah yang suci dan mahatahu, mereka sanggup berdalih dan memuji diri. Ucapan pongah dalam doa, sangat terasa ketika mereka berkata, “Aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan lalim, bukan pezinah dan bukan seperti pemungut cukai. Aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku”. Sementara si pemungut cukai berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan memukul diri dan berkata, “Ya, Allah ampunilah aku orang berdosa ini”. Untuk itu Yesus berkata, “Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah, sementara si Farisi ditolak Allah” (Lukas 18:11-14).

Menarik bukan? Si Farisi tak ubahnya si anak sulung yang merasa benar diri dan mengabdi, sementara si pemungut cukai tepat seperti si anak bungsu yang sadar diri. Realita si anak sulung, si Farisi, yang selalu merasa benar diri dan rasa sudah mengabdi, mewarnai kebanyakan orang beragama. Orang yang sangat fasih dengan berbagai ayat suci, ketat dalam ritual, dan selalu banyak waktu hadir di bait suci. Namun dalam kehidupan sehari-hari, mereka tak hadir dalam kedukaan sesama, mereka tak pernah berbagi karena hanya menumpuk materi untuk keuntungan diri. Mereka selalu menyebut diri diberkati Allah, karena memberi persepuluhan, namun tak peduli pada yang di bawah. Mereka merasa suci padahal sering menghakimi. Memang mereka tak mencuri, tak membunuh, tak memungut cukai, tak berzinah, namun mereka sangat rajin memuji diri, menghina yang lain sebagai orang yang kurang iman, kurang Roh Kudus, dan setumpuk kebiasaan buruk terselubung lainnya.

Tersesat di “Rumah Bapa” adalah sebuah keniscayaan yang telah terbukti. Ahli Taurat, orang Farisi, si manusia yang menyebut diri suci, bukankah mereka yang bersepakat untuk menyalibkan Yesus? Mengapa? Karena mereka merasa ditelanjangi oleh Yesus. Mereka disebut sebagai gembala upahan, yang menggembalakan untuk menumpuk kekayaan. Sanggup hidup mewah di antara banyak jemaat yang masih terbilang di bawah garis kemiskinan. Yang berani berkata banyak tentang ayat suci, tapi tak pernah menyelidikinya, apalagi melakukannya. Semakin hari, semakin banyak yang tersesat di “Rumah Bapa”, mereka semakin mati rasa, karena kemapanan yang sangat luar biasa. Penderitaan Kristus tak menarik minat mereka, bahkan sebaliknya, mereka bersembunyi dan berkata, “Cukup sudah Yesus yang menderita, kita tidak perlu lagi”.

Mereka mengabaikan Firman Tuhan yang banyak dan lengkap, yang berbicara tentang panggilan dan tantangan (band. Filipi 1: 29). Ironi demi ironi, itulah yang terjadi. Kisah si anak sulung terus berlanjut, tak pernah berhenti. Ahli Taurat, Farisi, muncul silih berganti, yang berubah hanya bajunya saja. Namun jual beli kebenaran tetap saja. Pengkhianatan terhadap Yesus Kristus Tuhan, hingga jual beli kebenaran tak kunjung usai, selalu ada pelaku barunya. Ini menjadi tantangan serius bagi gereja Tuhan yang sejati, untuk tak berhenti menyuarakan kesejatian Firman, bukan jual beli. Tak terperangkap pada kata-kata indah, namun kehilangan makna apalagi perbuatan nyata.

Gereja jangan sampai terhilang di “Rumah Bapa” karena itu sangat menyedihkan. Anda, saya, sebagai jemaat Tuhan, jangan sampai tersesat di “Rumah Bapa”, dan menjadi pengganti si anak sulung, atau si Farisi tinggi hati. Jangan pernah merasa benar hanya karena berkata benar, tapi benar karena telah berbuat benar, sesuai kehendak Bapa. Perkataan benar sering meluncur dari mulut ahli Taurat, namun mereka tak melakukannya. Tuhan Yesus pernah berkata tentang meraka, “Dengarkan apa kata mereka, tapi jangan tiru kelakuannya”. Mereka telah tersesat di “Rumah Bapa”. Awas, jangan ikut serta.

Selamat menyadari diri, menemukan kebenaran sejati, berani menguji diri, dan menguji sekitar diri, agar tak terjebak dalam perangkap yang menyesatkan. Berani berkata benar, bertindak benar, akan mengurangi penyesatan di “Rumah Bapa”. Semoga kita terpanggil mengaktulisasinya, tapi awas, jangan jadi besar kepala.

Selamat menemukan diri dalam kesejatian Firman yang suci.q