Pintu Sorga Ditutup oleh Pemuka Agama

16.11 bs 0 Comments

APA iya, pintu sorga ditutup oleh pemuka agama? Bukankah mereka seharusnya adalah penunjuk jalan ke sorga, yang menolong umat, bukan sebaliknya menyesatkan umat, apalagi menutup pintu ke sorga. Adalah Yesus sendiri yang mengatakan hal ini: “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, karena kamu menutup pintu-pintu kerajaan sorga di depan orang. Sebab kamu sendiri tidak masuk dan kamu merintangi mereka yang berusaha untuk masuk” (Matius 23:13). Sebuah ucapan yang sangat keras, jelas, yang menjadi ciri khas Yesus dalam menyatakan kebenaran. Tak pernah bersembunyi, apalagi mengurangi kebenaran. Yesus selalu menyatakan kebenaran, dan selalu siap dengan segala konsekuensi yang mungkin terjadi. Mengapa kritik keras itu meluncur dari mulut Yesus yang juga dikenal sebagai orang yang panjang sabar?

Ahli Taurat, orang-orang Farisi, adalah pemuka agama yang selalu merasa menjadi agen tunggal Allah, karena posisi yang mereka duduki. Berbagai kepongahan dalam kerohanian mereka bukan saja tampak kasat mata, bahkan seringkali sengaja mereka demonstrasikan secara tak terpuji. Merasa menjadi penerus Musa, mereka menempatkan diri bukan untuk mengabdi, melainkan menduduki kursi kekuasaan. Membuat berbagai peraturan keagamaan yang harus dijalani umat, namun sebagai pemimpin rohani mereka sendiri membebaskan diri. Pas, seperti pengkhotbah yang selalu meminta umat untuk memberi, namun dia sendiri tak tertib memberi. Ahli Taurat mendemonstrasikan pemberian persepuluhan, namun saat yang bersamaan mereka mengabaikan keadilan, belas kasihan, dan kesetiaan (Matius 23: 23).

Semua tindakannya tak pernah murni, selalu penuh dengan trik dan berselubung kemunafikan. Kata-kata khotbah sangat indah dan sarat dengan kebenaran, namun kelakuan bertolak belakang. Yesus pernah berkata tentang mereka, supaya murid-murid mendengar apa yang mereka katakan, tapi awas, jangan sampai meniru kelakuannya. Sungguh licin, dan menjatuhkan banyak orang. Tak heran jika ahli-ahli Taurat, orang-orang Farisi disebut sebagai penutup pintu ke sorga. Sebagai pemuka agama, kesombongan mereka telah menjadi batu sandungan yang sangat menyakitkan. Namun di situasi saat itu, ahli Taurat sangat berkuasa di teritori keagamaan. Hukum agama masih kuat, dan berlaku resmi dalam kehidupan sehari-hari. Ahli-ahli Taurat menjadi orang yang ditakuti. Lihat saja bagaimana mereka mengejar murid-murid Yesus dan membunuhnya, seperti mereka juga membunuh Yesus Kristus sendiri. Posisi yang sangat kuat secara politis, dan didukung penuh dengan kekuasaan religius, maka sempurnalah kedudukan para ahli Taurat saat itu. Mereka mendominasi hampir seluruh arena kehidupan sosial, dan rakyat yang juga umat, harus tunduk sepenuhnya.

Situasi Yahudi yang monoteis, maka peran agama sangat penting, juga kekuatan ikatan satu nenek moyang, membuat orang takut diisolasi dari pergaulan. Situasi yang sangat menyenangkan bagi pemegang kekuasaan atas nama agama. Ahli-ahli Taurat, orang-orang Farisi, para imam, semua menyatu menciptakan kehidupan dengan kelas tersendiri. Di samping kekuasaan, mereka juga memiliki kehidupan ekonomi yang sangat memadai. Balutan pakaian resmi yang mewah sangat memanjakan mereka, begitu juga berbagai fasilitas dan penghormatan yang tak kunjung henti. Berkolusi dengan para pedagang hewan korban dan penukar uang di Bait Allah menjadi salah satu sumber pemasukan mereka juga. Itu sebab mereka sangat keberatan dan marah ketika Yesus menjungkirbalikkan meja dagangan sebagai tindakan penyucian Bait Allah. Mereka berlaku bagaikan pebisnis tulen yang selalu mampu melihat setiap peluang yang menghasilkan keuntungan, padahal mereka imam yang seharusnya memikirkan umat. Kekisruhan semakin menjadi-jadi karena ketidakberdayaan umat untuk membuat koreksi pada situasi yang sedang terjadi.

Umat kecewa namun tak berdaya, atau sebaliknya, mereka bahkan terbawa arus kepalsuan, mencari aman, dan hidup dalam kemunafikan yang sama dengan para ahli Taurat. Yesus Kristus menyebut mereka celaka dan sebagai orang yang tidak akan masuk sorga. Kalimat keras ini diucapkan oleh orang yang tepat dan berhak mengatakannya, sehingga wibawa ucapan ini sangat kuat. Sangat perlu dipahami, bahwa apa yang diucapkan Yesus bukanlah ledakan emosi melainkan kebenaran yang tak terbantahkan. Kemunafikan mereka telah menciptakan kedegilan hati yang luar biasa, sehingga kritik tak menjadi pemicu untuk mengubah diri, bahkan sebaliknya, menjadi pembenar untuk membunuh Yesus Kristus. Tindakan mereka kemudian dengan segera mengukuhkan mereka sebagai orang bengis tanpa nurani, pemutar balik fakta, dan pecinta diri yang luar biasa.

Inilah sosok pemuka agama yang tak mengemuka moral baiknya, apalagi kemurnian spritualnya. Mereka penuh dengan pernak-pernik ritual, namun tanpa kekayaan spiritual. Mengucapkan kata-kata yang benar, namun bertindak tak bermoral. Tindakan demi tindakan, mengukuhkan mereka sebagai gembala upahan yang hanya mengambil keuntungan dari domba-dombanya, dan tak pernah rela berkorban bagi mereka. Kalaupun tampak mereka mencipta sebuah gerak pengorbanan, itu tak lebih dari sebuah kepalsuan. Pintu sorga tertutup bagi mereka. Namun mereka tak kalah gesit. Mereka merintangi pintu sorga dengan berbagai dalih dan tipuan demi tipuan, untuk mencegah umat masuk ke sana. Fitnah demi fitnah mereka tebar dengan sekuat tenaga agar orang tak percaya kepada Yesus Kristus. Bahkan politik uang pun mereka halalkan, demi target menyalibkan Yesus Kristus. Salah satu korban mereka adalah Yudas Iskariot yang kemudian menjual Yesus Kristus seharga 30 keping perak. Sungguh mengerikan perangkap setan bagi para ahli-ahli Taurat, orang-orang Farisi yang selalu merasa superior dalam kerohaniannya. Sebuah peristiwa yang tak bisa diremehkan, apalagi diabaikan, mengingat Yesus Kristus terlibat langsung di sana. Peristiwa ini telah menjadi konfrontasi terbuka, antara Yesus Kristus dengan ahli-ahli Taurat.

Bagi kita di sini, di masa kini, ini menjadi peringatan penting agar tak terjebak pada situasi yang sama. Jangan terjebak pada arogansi kosong keagamaan yang membuat diri merasa lebih hebat, lebih suci, lebih dekat dengan Tuhan dibanding yang lain. Merasa dekat ke surga, bahkan menggagahinya, dan membuatnya menjadi murahan. Menyakiti dan menghina orang lain hanya karena perbedaan pendapat soal tafsiran yang sejatinya bersifat relatif. Yang mutlak adalah kebenaran Firman Tuhan itu sendiri, dan semua orang percaya, terutama pemuka agama, harus berani dan rela menaklukkan diri sepenuhnya. Awas, jangan sampai menjadi batu sandungan, lalu berlanjut menjadi penutup pintu sorga.

Seperti yang pernah Yesus Kristus katakan, “Memang harus ada penyesat, tapi celakalah yang menjadi penyesat”. Bagi pemuka agama, pengkhotbah, ada situasi yang rentan terjadi, dan memerangkap orang tak ke sorga, bahkan menutup sorga bagi yang lainnya. Tak ada jalan lain kecuali mengintrospeksi diri dalam kebenaran Firman Hidup yang sejati. Belajar banyak, menghayati sungguh, dan melakukan sepenuhnya, semoga dengan demikian kita menemukan diri, dan tak menutup jalan ke sorga.