Farisi, dan Doa Suci yang Tak Suci

16.13 bs 0 Comments

ORANG Farisi, atau sebutan lebih pas, mereka yang masuk dalam golongan Farisi, adalah sebuah kelompok elit dalam keagamaan Yahudi. Golongan atau kelompok ini sangat terkenal dalam Perjanjian Baru, khususnya dalam benturan “pelayanan” dengan Tuhan Yesus Kristus. Farisi sangat bangga dengan kesucian dirinya, membuat mereka merasa lebih rohani dari yang lainnya. Penganjur ketat soal persepuluhan, yang hingga tak rela berbelanja dari kelompok non-Farisi karena mencurigai, bahwa barang-barang yang mereka beli bisa jadi belum dibayarkan persepuluhannya. Mereka menerapkan 39 bentuk larangan pada hari Sabat yang seringkali menjadi alasan perdebatan mereka dengan Yesus Kristus.
Dalam menafsirkan Taurat merasa paling unggul dari yang lain, dan mengklaim apa yang mereka lakukan berasal dari apa yang telah diterima nenek moyang mereka, yaitu Musa, di Gunung Sinai (band. Markus 7: 3-5). Mengklaim diri sebagai anak Abraham juga sering mereka lakukan, namun dikritik keras oleh Yesus Kristus karena bertolak belakang dengan sikap iman Abraham (band. Yohanes 8: 37-47). Farisi sangat taat beragama dengan sejuta aturannya, namun mengabaikan semangat utamanya, yaitu kasih kepada Allah dan sesama manusia (Matius 22: 34-40). Religiositas tinggi, tapi spritualitas rendah, seringkali menjadi penyakit manusia beragama. Meributkan berbagai aturan dan istilah, namun mengabaikan tindakan yang justru sangat diperlukan dan jantung keberagamaan.
Karena itu, ketika Yesus mengatakan hukum yang terutama, yaitu kasih kepada Allah dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi, yang diikuti dengan, kasih kepada sesama seperti diri sendiri, terasa sangat keras menghantam perilaku agama mereka yang miskin tindakan kasih. Farisi menjadi wujud arogansi manusia beragama yang selalu ada di setiap masa. Kelompok seperti ini datang silih berganti, wujud aturan dan ukuran kesuciannya beragam, namun semangat arogansinya tetap sama. Dalam doa yang dinaikkannya, Farisi berucap, “Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini, aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku” (Matius 18:11-12).
Sebuah doa yang lahir bukan dari kerendahan hati, melainkan kepongahan seorang yang merasa sangat rohani. Kepongahan yang tak saja meninggikan diri tapi sekaligus menjatuhkan atau merendahkan orang lain. Farisi menjadi kelompok yang sangat gemar menghakimi. Doa dan puasa senantiasa mewarnai aktivitas mereka sehari-hari. Mereka tak pernah merasa salah sekalipun tindakan mereka tak segera menunjukkan buah yang seharusnya sebagai wujud iman yang sejati. Dari kelompok ini tak sedikit yang melejit sebagai pemuka agama yang piawai dalam soal-soal Taurat. Gamaliel adalah contoh guru terkemuka, dan dari dia, lahir generasi penerus yang tak kalah cerdasnya yakni Saulus. Namun Saulus dikemudian hari mengalami pertemuan yang luar biasa dengan Yesus Kristus dan membawa dia menjadi murid dan rasul yang terakhir.
Keunggulan-keunggulan Farisi dalam institusi agama telah membutakan mata mereka, sehingga tak sungkan untuk menista, bahkan menyalibkan Yesus Kristus. Ironis, dalam rasa “dekat dan sangat melayani Allah”, mereka justru mencabik-cabik kebenaran sesukanya. Sebuah penampilan yang sungguh tak layak dalam panggung keagamaan, yang selalu menyuarakan kesucian namun mendemonstrasikan kebobrokan moral. Seakan menggembalakan umat ke air yang tenang, namun sejatinya, mereka memerah umat untuk kepentingan diri. Domba-domba tak menikmati penggembalaan melainkan pemerahan. Untuk ini, Yesus Kristus mengkritik mereka dengan pedas sebagai gembala upahan. Tiap kali Yesus menyatakan kebenaran yang sejati, maka tiap kali pula pendaman amarah semakin meninggi dalam hati mereka. Di sana tak tersisa ruang penyesalan kecuali tumpukan kebebalan. Rasa unggul pada perilaku keagamaan, namun mengabaikan kesejatiannya, bukanlah barang baru dalam kehidupan ini. Hal ini terus datang silih berganti dalam tiap generasi.
Hingga kini, di sini, di jaman ini, tak ada yang berubah. Barisan orang dengan arogansi keagamaan terus memanjang, menampilkan aroma menjijikkan dan mendorong tidak sedikit orang memilih keluar dari agama, dan tak ber-Tuhan, alias atheis. Kemuakan pada agama terjadi khususnya pada generasi muda. Generasi yang muak dengan kemunafikan dan memberontak dengan meninggalkan keagamaan. Kisah di balik lahirnya majalah Playboy, adalah salah satu contohnya. Perilaku kaum puritan yang selalu merasa suci dan menista yang lainnya, namun di sisi lain melanggar dengan tegas nilai cinta kasih, menimbulkan pembrontakan yang cukup serius. Majalah Playboy menjadi perlawanan dengan pesan: buat apa beragama tapi munafik, lebih baik terus terang dalam keterbukaan. Hal ini diterjemahkan dalam tampilan seronok seks yang menjadi ciri khas majalah Playboy, yang justru terus tumbuh subur bahkan hingga sekarang.
Mengumandangkan nilai-nilai suci harus menjadi panggilan bagi tiap orang percaya, tapi juga melakukannya. Umat harus cermat dalam menyikapi kehidupan agar tidak terjebak dalam kemunafikan. Kini banyak orang yang mengulang sepak terjang Farisi. Berdoa dengan tinggi hati digambarkan seakan ketegasan warna iman. Doa yang bunyinya, “beruntung kami tidak seperti para pendosa”, memang bisa menjadi pedang bermata dua. Satu sisi, bisa jadi kemurnian hati, namun, di lain sisi ini juga bisa berarti ketinggian hati. Tak mudah menebak arah doa, namun dengan segera bisa terlihat dalam tindakan nyata buah kehidupannya. Semakin hari semakin banyak orang yang bersembunyi di balik doa, karena takut hadir dalam kancah nyata problematika kehidupan.
Haruskah ucapan-ucapan suci dalam doa mengalir deras, dan puasa seakan menjadi demonstrasi pikul salib, padahal banyak orang yang tertekan terabaikan? Orang yang miskin tetap tak makan, yang haus semakin dahaga. Sehingga, ketika doa semakin kencang dikumandangkan dalam kepongahan keagamaan, saat yang bersamaan semakin panjang orang yang terabaikan. Doa semakin gencar diucapkan, namun tanpa pembelajaran yang memadai akan Firman Tuhan, tapi bersembunyi di balik kata-kata “Kami memang tidak memiliki karunia pengajaran”. Padahal, mengetahui kebenaran Firman Tuhan adalah panggilan setiap orang percaya, sementara karunia pengajaran lebih kepada tekanan kemampuan ekstra atau kuasa dalam mengajarkan Firman Tuhan.
Doa harus membumi, hadir di kehidupan, terwujud dalam tindakan, dan menciptakan perubahan demi perubahan yang dimulai dari perubahan diri. Martin Luhter sang reformator pernah berkata, “Ketika engkau bekerja engkau sedang berdoa”. Alangkah indahnya kehadiran orang yang berdoa, karena mereka penuh karya dalam kasih dan untuk kemuliaan Bapa di sorga. Namun alangkah menyedihkan mereka yang berdoa dengan merasa sudah suci, dan dekat dengan ilahi, namun tak pernah membumi. Awas, jangan terjebak sindrom Farisi, berdoa dengan perasaan suci namun dihardik Allah yang suci. Tapi juga jangan berdalih, “Saya tak berdoa, tapi yang penting saya bertindak”, karena itu adalah pelarian yang tak bertanggung jawab. Selamat berdoa dengan benar, pada track yang benar, dengan hasil yang benar. Doa yang suci dan memang suci.